Selasa, 08 Maret 2011

Sebuah Kisah


Cahaya mentari mencoba menembus rimbunnya dedaunan yang melindungi ruangan ku berada di sisi timur. Masih sepi, bangku-bangku masih kosong, gerbang masih tak terjaga, ruang guru hanya beriramakan jarum jam yang menarik waktu, halaman upacara lengang orang namun berhiaskan ranting pohon. Kelas ini masih sunyi hanya ada aku dan papan tulis yang saling berpandangan seolah berdialog tentang pagi ini. Pagi yang dingin dan nyaris menusuk sampai ke sumsum paling dalam jika sang mentari tak berusaha melawan. Ini memang masih pagi, bahkan terlalu pagi untuk memulai pelajaran sekolah seperti biasa. Entah apa yang kupikirkan hingga aku niat untuk menyeruak dari keheningan hari ini. Tak ada hal yang begitu penting hingga mengharuskan aku untuk segera duduk di bangku seperti biasanya.

Tertunduk sejenak menatap meja yang sering menjadikan dirinya sandaran untukku menulis selama beberapa bulan. Aku yang tak pernah beranjak dari sepasang singgasanaku ini seolah sudah memiliki suatu ikatan kuat terhadapnya.

Termenung untuk beberapa saat hingga akhirnya mulutku bergumam, “terima kasih untuk beberapa waktu terakhir itu.”


Seraya mengangkat wajah dan kembali menatap papan tulis yang coreng-moreng oleh sisa ucapan Darwin kemarin sore, kembali aku termenung dan menatap lekat dengan tatapan bersahabat hendak mengajak berbicara. Ada perasaan aneh saat kupandangi papan tulis itu lekat-lekat. Sebuah perasaan hangat yang menyerupai sosok keibuan yang entah dari mana datangnya. Perlahan namun pasti, aku bangkit dari singgasanaku dan berjalan perlahan menggapai sosok hangat tersebut. Semakin dekat aku padanya semakin jelas pula dari mana dia berasal.


Cahaya keemasan yang sedikit demi sedikit menampakkan diri itu kini membuatku sadar dari mana sosok hangat itu muncul. Sosok itu tetap sebidang papan tulis putih yang telah coreng-moreng. Namun goresan yang membekas di setiap bagiannya menjelaskan kenapa dia bisa menjadi sosok hangat itu. Kuarahkan telapak tanganku tepat pada satu area yang masih putih tanpa torehan noda. Kurasakan hangatnya hingga aku perlahan memejamkan kedua mataku seolah mencoba memahami apa yang ingin diucapkannya.


Perlahan kubuka kembali kedua indera penglihatanku diikuti sebuah senyum yang terukir dengan satu kalimat terucap pelan, “terima kasih untuk semua wejangan sejarah dari belahan dunia yang  tak terjangkau kaki serta tanganku.”

# bersambung

3 komentar:

  1. ::: hm.... bahasa ini,,, cara bahasa ini, tidak berbeda,,, ^_^ kita masih serupa...

    ::: papan tulis, punya persamaan kan dengan pasir pantai? merekam jejak, merekam sejarah, dan mengantarkan semburat yang makin cacat permukaannya justru makin berkisah... ^_^

    :: hayo? kapan dilanjutkan lagi? ^_^

    BalasHapus
  2. tak beda ya? :)
    itulah mengapa sebenarnya dari dulu banget aku mau ngajak kolabs. :)

    siap dilanjut. :)

    BalasHapus
  3. ohohoho.... begitu rupanya latar belakang semua ^_^

    BalasHapus

komentar dan apresiasi kawan-kawan mampu membangun karakter saya semakin kuat