Kamis, 03 Januari 2013

Akhir untuk Permulaan

Tahun baru masehi selalu menyedot animo penduduk di berbagai belahan dunia untuk bisa merayakannya bak acara ulang tahun. Seolah sebuah acara sakral yang tak boleh terlewat dalam agenda, setiap orang berlomba menyusun ragam acara untuk mengawal pergi "akhir tahun" serta menyambut hangat "awal tahun". Selebrasi setiap orang berbeda, ada yang senang dengan keramaian di kota besar dalam maupun luar negeri, ada yang mencoba lebih mendekat ke alam untuk mencoba lebih selaras, atau ada juga yang lebih memilih tinggal di rumah dan menikmati momen libur berharga dengan keluarga.

Kembang Api, simbol selebrasi. 2010 - 2011

Bahkan bagi beberapa orang, selebrasi tahun baru masehi lebih meyenangkan jika dilewati di kamar sendiri dengan ditemani camilan serta kaleidoskop pribadi yang diputar melalui indahnya fantasi di langit-langit. Ya, memutar jejak rekam perjalanan usia di tahun lalu menjelang pergantian tahun terkadang lebih menyenangkan, termasuk untukku. Rutinitas yang biasa kusebut sebagai muhasabah ini tak hanya kujalani setiap bertemu momen ulang tahun saja, tapi biasa jadi menu pergantian tahun.

Momen pergantian tahun 2009 ke 2010, jadwal pemutaran kaleidoskop menjadi yang terakhir dilakukan di kamar pribadi. Akhir 2010 menuju awal 2011 merupakan parade permulaan pemutaran jejak perjalanan selama setahun penuh di luar arena kamar pribadi. Pergantian tahun menuju 2011 aku lakukan di Pangandaran bersama keluarga besar dalam rangka mengunjungi sang ibu dan abi. Tapi seketika selebrasi pergantian tahun kian mendekat, aku mulai melipir sendiri ke pantai dengan misi utama mencari foto aktual dan penuh sejarah untuk diingat di kemudian hari.

Pangandaran, 2010 - 2011


Ritual terbaruku dalam menjalani pergantian tahun adalah mencari foto berbeda momen dan lokasi. Jika 2010 menuju 2011 dilalui di Jawa Barat, maka momen pergantian 2011 menuju 2012 dijalani di Jawa Timur. Setiap tempat selalu menyajikan nuansa berbeda dalam kemasan yang unik. Pangandaran 2011 menyuguhkan gemerlap langit nan warna-warni lengkap dengan riuh dan semaraknya pendengaran. Lalu, apa yang disuguhkan dengan Jawa Timur di penghujung 2011?

Bromo, 2011 - 2012

Penghujung 2011 pengelanaanku menuju Taman Nasional Bromo Tengger Semeru nampak membuahkan hasil, tak cuma rekam jejak lensa yang bisa didapatkan. Bukti nyata betapa indahnya Indonesia tergambar jelas dari masyarakat Tengger, lekuk punggung gunung di TNBTS. Penghujung 2011, menjadi satu dari sekian banyak selebrasi pargantian tahun yang sangat berarti bagiku. Eksotis, menawan dan mengagumkan, itu tiga kata yang mampu menggambarkan pergantian tahun 2011 - 2012.

Gunung Kidul, 2012 - 2013

Edisi selebrasi pergantian tahun ini berujung di Gunung Kidul, Yogyakarta. Setelah Jawa Barat dan Jawa Timur menjadi tuan rumah di dua tahun sebelumnya, kini Yogyakarta mendapat kehormatan dariku. Awal kurang baik memang untuk pergantian tahun ini. Setelah mantap melangkah dalam persiapan, beberapa hal mulai menyelimuti keyakinan dan membuat ragu untuk berangkat sampai siap sedia dengan senang hati untuk mengurungkan niat. Namun, setelah beragam diskusi dan memantapkan hati untuk tetap melaju, maka stick to the plan and here I come!

Ditemani seorang partner perjalanan yang akhirnya berhasil meyakinkan untuk berangkat, maka kurepotkan dirinya dengan segenap hati dan tanpa sungkan. Setiap detiknya dalam perjalanan tak luput dalam obrolan yang menurutku berisi. Partner satu ini memang tidak biasa melakukan selebrasi pergantian tahun di luar karena satu dan beragam hal, tapi untuk kali ini rasanya dia setuju kalau momen penutupan dan pembukaan tahunnya tak biasa bahkan sangat berguna.

Ketika orang-orang repot menyusun resolusi baru untuk tahun yang baru, maka kami menyebutnya dengan sempurnakan resolusi lama!!

Sedikit parodi dari kami (Dialog antara manusia dan Allah),

Manusia (m) : Ya Rabb, dengan pergantian tahun ini maka hamba siapkan proposal resolusi untuk tahun depan yang semuanya sangat-sangat "a brand new resolution!!"
Allah (A) : Oh... Baru lagi ya? Yakin??
 (m) : Insyaallah sangat yakin untuk resolusi yang baru ini.
 (A) : AH udah deh, bosen Aku sama resolusimu yang baru-baru tapi toh akhirnya terbengkalai. Udeh, sempurnain ikhtiar buat resolusi-resolusimu yang ada dari tahun-tahun lalu! Sempurnain aja dulu! Oke?
 (m) : Eh? Kok gitu?
 (A) : Lah? Emang Aku suruh kamu jalan keluar rumah untuk gabung sama temen-temenmu itu buat apa? Bukan cuma buat sekedar jalan juga hura-hura. Partnermu itu ada buat bikin kamu jalan keluar. Sedangkan temen-temenmu yang minta ditemenin di Yogya itu ya supaya kalian berdua bisa belajar banyak dari mereka. Itu aja!
 (m) : Sempurnain resolusi yang lalu-lalu ya?
 (A) : Iya, bisa kan?
 (m) : Bisa insyaallah!!

Begitulah, kami berdua jalan ke Gunung Kidul akhirnya tak sekedar mengejar foto baru, tapi juga belajar hal baru. Kami pun serasa ditampar dengan halus via seseorang yang akhirnya kami anggap itu adalah sesosok inspirasi. Kami pulang tidak dengan tangan hampa, kami pulang dengan hati dan pikiran yang terisi penuh dengan inspirasi!

I'm a part of God's plan! We're a part of God's plan!

Kutipan di atas kini semakin nyata!

Yogyakarta, 1 Januari 2013

Sabtu, 07 Juli 2012

Make Your Own Move

Sudah hampir sebulan kegiatan ku di sore hari adalah bermain layangan! Sampai-sampai satu sahabatku rela datang ke rumah cuma sekedar ingin menerbangkan layangan. Rindu masa kecil pastinya. Tapi jujur saja, sejak bermain layangan kembali rasanya ada yang sedikit berubah dari apa yang kulakukan. #smile

Seperti biasanya tak ada yang sangat spesial hari ini. Tapi juga tak ada layang untuk sore ini. Aku sedang ingin meluangkan waktu untuk sekedar bercerita tentang banyak hal dan berbagi banyak hal. Kusebut tema hari ini adalah belajar. Aku juga bukan belajar dari orang yang sangat ahli di bidangnya. Tapi setidaknya kami belajar bareng dan saling menambahkan jika ada kekurangan.

Pagi sekali aku sempat membaca tweet dari satu kawanku yang tertulis seperti berikut,
"Mau enggak mau, diakui atau tidak, gelar sarjana itu jadi kebutuhan. Makanya kenapa banyak orang sekolah tinggi-tinggi. Tapi jangan membuat beda, ilmu itu bisa darimana aja" ~ Eka Handayani
Apa reaksi ku? Tentu aku setuju dengan kutipan nya. Justru pelajaran paling berharga adalah yang di dapat dari lingkungan serta orang-orang sekitar. Lalu apa yang aku dapat hari ini? Banyak! Belajar tentang bagaimana mengemas satu produk, bagaimana caranya membuat satu karya pop art dan bagaimana supaya bisa membuat pintu keluar dari masalah yang sedang dihadapi saat ini.

Bagian paling terakhir adalah yang saat ini akan aku coba ulas berdasar pengalaman beberapa narasumber.

Pernah kan kita semua menghadapi sikap keluarga yang selalu mengarahkan dan memutuskan apa yang harus kita lakukan? Aku yakin kita semua pernah. Tak sedikit juga yang beranggapan bahwa itu adalah hal paling menjemukan. Alasannya mungkin karena merasa beberapa waktu kita hilang "dikorbankan" demi keinginan mereka. Tapi percayalah, apa yang mereka inginkan itu selalu baik! #pengalaman


Ketika kita memiliki suatu hal yang disukai bahkan jadi bagian impian atau pun cita-cita, pegang erat hal itu jangan sampai lepas. Jangan pernah berpaling dari itu meskipun terhalang oleh keinginan dan rencana keluarga. Hal paling penting yang harus dilakukan adalah berpikir dengan jernih dan jujur terlebih dahulu dengan diri sendiri. Katakan bahwa kita suka melakukannya, tak bisa dijauhkan dengannya bahkan mencintai itu. Tak usah malu untuk jujur pada diri sendiri jika hatimu berkata demikian.

Andai keluarga mengutarakan keinginannya agar kita jadi seperti apa yang mereka inginkan, kenapa kita tidak mencoba melakukan hal yang sama? Kenapa kita tidak mencoba untuk mengutarakan maksud dan keinginan kita seperti apa? Daripada mengambil jalan pintas dengan memendam kesal dan melarikan diri dari kenyataan yang ada. Menyalahkan mereka karena waktu untuk hal yang kita sukai berkurang direnggut keinginan mereka bukan hal bijak.

Setidaknya, cobalah untuk berdialog sejenak dengan keluarga agar jalan keluarnya lebih indah. Jangan jadikan keinginan mereka jadi satu kambing hitam bernama cobaan. Anggaplah itu sebuah ujian dimana Tuhan sedang mengajarkan kita bagaimana menyelesaikan satu masalah. Percayalah! Rencana Tuhan selalu indah.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jumat, 20 April 2012

Sepasang Sendal Jepit #1

Lelaki itu lusuh terduduk dengan pandangan kosong. Tak objek nyata yang dilihatnya. Mata itu hanya tertuju pada laju sepatu orang lalu lalang. Hari itu juga tak ada yang istimewa. Kabar baik ataupun buruk tak saling sahut-sahutan. Semua tetap sama, datar dan tanpa dinamika. Mungkin dunianya hanya dua warna, saat ini. Hitam dan putih. Tapi bukan itu masalahnya. Dia juga ingin semuanya berwarna, penuh rupa. Tapi apa daya, saat ini dia hanya bisa terpekur menikmati sisa waktu dan jalan hidup yang ada.

Jemarinya saling berpagut, erat ibarat sepasang kekasih tak mau dipisahkan perang. Gemetar dan terlihat agak panik. Sepasang telunjuknya mulai memainkan peran dan menari begitu lincah. Seolah ada irama orkestra yang begitu cepat di sekitarnya. Putarannya seperti bianglala dengan kecepatan melewati batas. Semakin cepat hingga kini terhenti dan malah menjalar ke kedua kakinya. Syaraf di kakinya mulai mengangkat kedua sepatu memainkan nada yang acak.

Tak kuasa dengan gelisah yang semakin menghantui kini dia coba untuk beranikan berhenti. Berhenti untuk menatap laju sepatu, berhenti untuk menari jemari bahkan mencoba untuk berhenti mengehentak dengan nada tanpa arah. Sesaat lalu tubuhnya gemetar dan seakan goyah. Kini semuanya tegap dan kokoh seolah dituangkan carian pengeras beton.

Gue harus bisa ngomong ini sama dia. Batinnya mulai bersuara. Suara yang seharusnya dari dulu dia utarakan. Suara yang seharusnya tidak membawanya ke arah yang tidak pasti seperti ini.

"Lo kenapa brur? Ada masalah?" satu suara yang tak asing membuatnya menoleh.

"Gue mesti balik! Kunci kosan dimana? Mau packing nih. Keburu kemaleman entar."

"Lo tuh kenapa sih? Daritadi pagi lo suntuk banget dan sekarang lo tiba-tiba beringas," timpal Aden dengan tergesa-gesa memberikan kunci.

"Gue mau pulang ke rumah malem ini juga. Tak ada tapi dan tak ada yang ditunda lagi. Masalah gue ini cukup pelik dan krusial, Den. Lo yang paling tau seberapa krusialnya masalah gue saat ini. Ini tentang masa depan gue. Semua tentang kuliah gue, Den."

Lelaki di depannya itu kini hanya menatap sahabatnya dengan penuh keheranan. Ada rasa kaget dan sedih ketika mendengar ini semua tentang apa yang menjadi prinsipnya. Aden memang sangat mengenal dekat sahabatnya itu. Sejak awal masuk SMP mereka memang langsung bisa klop dan tak ada tapi. Ini adalah permulaan tahun ketujuh dengan kondisi jauh dari rumah. Baginya, tak ada yang lebih bisa mengisi kesehariannya selain sahabatnya itu. Kini Aden terkejut dengan fakta bahwa sahabatnya terancam tak bisa kuliah.

"Lo ngapain mesti pulang sekarang, Mal? Ini udah hampir gelap. Rumahmu dari sini tuh 3 jam, sesampainya di sana juga gak bakal ada yang nyambut lo! Semua orang udah tidur dan lo bakal ganggu istirahat mereka! Ngerti ngga?!"

Lelaki lusuh itu kini sedikit melambat pergerakannya. Layaknya gerigi mesin yang sudah berkarat. Tak mau bergerak dan terhenti begitu saja. Bahunya sedikit membungkuk. Kepalanya mulai agak condong ke depan. Lengan kiri yang tadinya membetulkan jaket kini terkulai lemah. Kepalan tangan dengan rentetan kunci itu perlahan masuk ke saku celana. Dia terdiam. Bisu. Sunyi.

Aden merasa bersalah atas sikapnya barusan. Kalimat yang dilontarkan tadi lebih kasar dari biasanya. Sahabatnya itu memang bagian paling penting buat Aden selain keluarganya. Aden memang terkenal kurang pandai untuk bergaul dan memulai suatu percakapan. Bahkan untuk kelompok siswa jenius, Aden tidak begitu disukai orang. Cuma lelaki lusuh itulah yang mau untuk lebih dekat dan mengenalnya, hingga sekarang. Selama perjalanan mereka, Aden baru kali ini meninggikan nada suara untuk sahabatnya.

. . . BERSAMBUNG

Kamis, 14 Juli 2011

Apa itu "Isyarat-isyarat cinta"??

Lama tak jumpa rasanya, setelah berbagai kesibukan dan aktifitas seminggu lalu. Senang rasanya bisa menulis kembali dan berbagi bersama teman-teman. Postingan kali ini tentang review sebuah novel terbitan dari Kaifa Mizan dan sedikit jadul. hehe

Ini dia wujud bukunya! Maaf agak seusah nyari gambar cover-nya. hhe
Judul buku : Isyarat-isyarat Cinta

Penulis       : Jean Ferris

Penerbit     : Kaifa Mizan (2003-an)


Buku yang terbit sekitar tahun 2002/2003 ini meraih penghargaan sebagai ALA Best Book For Young Adults. Pantas rasanya jika buku ini meraih pernghargaan seperti itu karena cerita yang ada tak hanya menarik dan bagus untuk diikuti, tetapi juga memberi banyak pelajaran. Bagi beberapa orang yang kenal denganku mungkin akan sedikit terkekeh ketika melihatku membaca, menenteng atau memajangnya di rak buku. Tapi biarlah, toh memang judulnya saja cukup untuk membuat tertawa kecil jika lelaki membacanya. Tapi kesampingkan itu cerita lama, kini kita langsung kupas tuntas bukunya.

Pasti ada banyak pertanyaan soal buku ini kan?? (kepedean)

Ceritanya berpusat pada sepasang remaja tanggung yang bisa dibilang normal seperti remaja lainnya namun juga bisa dikatakan luar biasa. Theo dan Ivy adalah remaja yang memiliki kemampuan untuk berbicara normal namun juga berbahasa isyarat. Mereka merupakan satu-satunya anggota keluarga yang tunarungu. Mereka berdua adalah penyambung lidah dan kehidupan bagi masing-masing keluarganya.

Theo yang menyayangi ayah dan adik-adiknya ternyata cukup untuk dibuat kesal oleh ibunya. Sedangkan Ivy yang menjadi satu-satunya penerjemah ayahnya malah menikmati kelebihannya itu. Theo mengagumi Ivy di sekolah maupun di luar. Namun bahasa isyarat membuat Theo cukup enggan untuk mendekati gadis tersebut. Sampai satu ketika mereka akhirnya berkenalan dan menjalin hubungan cukup dekat.

Hubungan mereka bisa dibilang sebuah wahana "halilintar" yang bisa membuat dada bergejolak. Bagi mereka hubungan itu lebih dari sekedar hubungan normal lainnya. Ketika remaja lainnya hanya pergi jalan-jalan, ke mall, nonton atau melakukan hal lain yang lebih menyenangkan. Berbeda dengan Theo dan Ivy, mereka harus membina hubungan juga harus berbagi kesenangan dengan masing-masing keluarganya.

Konflik batin mulai terjadi ketika Palma (ibunya Theo) harus rela berjuang sendirian untuk keluarganya setelah ayahnya Theo meninggal. Berat bagi Theo yang ketika itu hendak memutuskan untuk pergi melanjutkan kuliahnya karena harus memperjuangkan keluarganya. Belum lagi hubungannya dengan Ivy yang selalu mendorong Theo untuk maju mengejar cita-citanya. Keputusan yang sungguh berat untuk Theo mengingat Palma begitu bergantung padanya. Tapi dengan penuh keteguhan dan keteduhan, Ivy terus membujuk Theo untuk tidak melupakan mimpinya semata.

Di tengah keterbatasan dan keluarbiasaan lingkungan mereka, Theo dan Ivy mampu membagi kasih sayang satu sama lain dengan keluarganya. Di tengah tekanan keluarga yang cukup membuat pikiran tersita, Theo masih bisa berusaha untuk menjadi orang normal dan meyakini cita-citanya.

Selasa, 05 Juli 2011

He is our guardian

Assalamu’alaikum dan salam sejahtera bagi para pembaca

Maaf jika rubrik ini agak telat muncul tidak seperti dua rubrik sebelumnya. Kebetulan aku harus menyelesaikan urusan demi menyambung hidup di hari esok. Hehe

Sosok pertama yang akan kuperkenalkan adalah seorang pria berwibawa dengan panggilan Abi. Beliau adalah pribadi yang tangguh, tameng paling depan saat ada kesulitan, mesin tanpa lelah dalam mencari nafkah serta ucapan terbijak dalam mengingatkan. Lahir setengah abad lalu di Surabaya menjadikannya sosok yang cukup keras untuk ukuran orang Jawa.

Secara fisik, beliau tidak memiliki perawakan yang tinggi besar. Mental serta spiritualnyalah yang membuat sosok tersebut begitu “besar”. Jarang sekali bicara jika memang dirasa tidak perlu. Hingga sesekali orang lain terkesan menyepelekan beliau jika melihat sorot mata memandangnya. Tenang, lugas dan to the point merupakan daya tariknya jika mengajak lawan bicaranya berdialog. Beragam topik bisa menjadi sajian menarik dan tak henti dikupas tuntas olehnya.

Politik, agama, olahraga, ekonomi hingga wisata bisa menjadi obrolan menarik jika menjadi lawan bicara beliau. Tapi yang paling menarik perhatian beliau adalah ketika membicarakan langkah-langkah realistis melewati hidup. Itulah topik yang takkan habis dikupas dengannya. Rasanya akan memerlukan beberapa jam sampai pembicaraan itu tak memiliki intisari lagi.

Hal yang paling aku suka dari beliau adalah cara mendidik anak-anaknya. Ada treatment tersendiri baginya untuk mendidik kami ―aku serta almarhum adikku― ketika kecil. Percayalah, treatment itu berbeda sekali dengan seperti ayah kebanyakan. Abi juga membedakan treatment-nya antara aku dan adikku. Untuk belajar, aku sering diajak abi untuk berjalan ke sekeliling lingkungan namun tanpa menjelaskan apa pun.

Pernah satu waktu aku diajak berkeliling lingkungan rumah dan selama perjalanan itu abi hanya berucap satu kata, “Lihatlah.” Aku yang masih kecil dan tak tau apa-apa cuma bisa memandang wajahnya dengan tengadah tanpa melepaskan genggaman tanganku. Lalu secara spontan aku mulai memutar persendian leher ke kiri dan ke kanan hingga sesekali ke belakang tanpa ada penjelasan apa pun. Sampai keesokan harinya aku  mulai bawel untuk bertanya dan abi mulaai rajin menjelaskan secara pelan dan jelas.

Rasanya itu menjadi satu pelajaran paling menarik yang pernah aku terima selama ini. Aku belajar mengidentifikasi sesuatu sedari kecil hingga akhirnya seperti sekarang. Abi juga merupakan sosok yang penuh semangat ketika bersaing dengan ibu dalam menanamkan kesenangan masing-masing. Ibu yang sedari aku kecil menanamkan kesukaan mendengar serta membaca membuat abi tak mau kalah untuk bisa memberikan pengaruh soal kesenangannya dalam fotografi. Kesenangannya itu kini mengalir deras dalamperjuangan yang sedang kuarungi saat ini. Prosesnya mendidikku dalam hal fotografi juga lebih dari sekedar mengidentifikasi.

Bayangkan saja dahulu aku disuruh untuk lebih sering melihat sekitar dan mengahalkan setiap sudut penglihatan yang aku rasa itu menarik dan bagus untuk direkam. Setelah mengulang itu dengan lisan, esoknya baru diberikannya kamera analog untuk mengabadikan setiap hal yang menarik perhatianku dan itu layak direkam.

Satu hal yang masih melekat dalam pikiranku adalah sebuah kalimat ketika kami berjalan dini hari untuk memotret satu kawasan pasar di Bandung. Abi bebicara seperti ini, “Berjalanlah kamu sebanyak mungkin tanpa berhenti memperhatikan sekitar. Learn is look around in every single step you make, Son!”

Sampai saat ini kalimat itu masih tersimpan dengan baik dalam ingatanku dan sering aku jadikan motivasi tersendiri untuk melecut daya kreasiku dalam memotret. Sejujurnya, dalam hal memotret kami adalah saingan yang selalu enggan mengagumi hasil karya satu sama lain. Tapi aku begitu bersyukur memiliki sosok seperti beliau.

Someday, Abi pasti bilang kalau karyaku itu bagus!! J