Sabtu, 07 Juli 2012

Make Your Own Move

Sudah hampir sebulan kegiatan ku di sore hari adalah bermain layangan! Sampai-sampai satu sahabatku rela datang ke rumah cuma sekedar ingin menerbangkan layangan. Rindu masa kecil pastinya. Tapi jujur saja, sejak bermain layangan kembali rasanya ada yang sedikit berubah dari apa yang kulakukan. #smile

Seperti biasanya tak ada yang sangat spesial hari ini. Tapi juga tak ada layang untuk sore ini. Aku sedang ingin meluangkan waktu untuk sekedar bercerita tentang banyak hal dan berbagi banyak hal. Kusebut tema hari ini adalah belajar. Aku juga bukan belajar dari orang yang sangat ahli di bidangnya. Tapi setidaknya kami belajar bareng dan saling menambahkan jika ada kekurangan.

Pagi sekali aku sempat membaca tweet dari satu kawanku yang tertulis seperti berikut,
"Mau enggak mau, diakui atau tidak, gelar sarjana itu jadi kebutuhan. Makanya kenapa banyak orang sekolah tinggi-tinggi. Tapi jangan membuat beda, ilmu itu bisa darimana aja" ~ Eka Handayani
Apa reaksi ku? Tentu aku setuju dengan kutipan nya. Justru pelajaran paling berharga adalah yang di dapat dari lingkungan serta orang-orang sekitar. Lalu apa yang aku dapat hari ini? Banyak! Belajar tentang bagaimana mengemas satu produk, bagaimana caranya membuat satu karya pop art dan bagaimana supaya bisa membuat pintu keluar dari masalah yang sedang dihadapi saat ini.

Bagian paling terakhir adalah yang saat ini akan aku coba ulas berdasar pengalaman beberapa narasumber.

Pernah kan kita semua menghadapi sikap keluarga yang selalu mengarahkan dan memutuskan apa yang harus kita lakukan? Aku yakin kita semua pernah. Tak sedikit juga yang beranggapan bahwa itu adalah hal paling menjemukan. Alasannya mungkin karena merasa beberapa waktu kita hilang "dikorbankan" demi keinginan mereka. Tapi percayalah, apa yang mereka inginkan itu selalu baik! #pengalaman


Ketika kita memiliki suatu hal yang disukai bahkan jadi bagian impian atau pun cita-cita, pegang erat hal itu jangan sampai lepas. Jangan pernah berpaling dari itu meskipun terhalang oleh keinginan dan rencana keluarga. Hal paling penting yang harus dilakukan adalah berpikir dengan jernih dan jujur terlebih dahulu dengan diri sendiri. Katakan bahwa kita suka melakukannya, tak bisa dijauhkan dengannya bahkan mencintai itu. Tak usah malu untuk jujur pada diri sendiri jika hatimu berkata demikian.

Andai keluarga mengutarakan keinginannya agar kita jadi seperti apa yang mereka inginkan, kenapa kita tidak mencoba melakukan hal yang sama? Kenapa kita tidak mencoba untuk mengutarakan maksud dan keinginan kita seperti apa? Daripada mengambil jalan pintas dengan memendam kesal dan melarikan diri dari kenyataan yang ada. Menyalahkan mereka karena waktu untuk hal yang kita sukai berkurang direnggut keinginan mereka bukan hal bijak.

Setidaknya, cobalah untuk berdialog sejenak dengan keluarga agar jalan keluarnya lebih indah. Jangan jadikan keinginan mereka jadi satu kambing hitam bernama cobaan. Anggaplah itu sebuah ujian dimana Tuhan sedang mengajarkan kita bagaimana menyelesaikan satu masalah. Percayalah! Rencana Tuhan selalu indah.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jumat, 20 April 2012

Sepasang Sendal Jepit #1

Lelaki itu lusuh terduduk dengan pandangan kosong. Tak objek nyata yang dilihatnya. Mata itu hanya tertuju pada laju sepatu orang lalu lalang. Hari itu juga tak ada yang istimewa. Kabar baik ataupun buruk tak saling sahut-sahutan. Semua tetap sama, datar dan tanpa dinamika. Mungkin dunianya hanya dua warna, saat ini. Hitam dan putih. Tapi bukan itu masalahnya. Dia juga ingin semuanya berwarna, penuh rupa. Tapi apa daya, saat ini dia hanya bisa terpekur menikmati sisa waktu dan jalan hidup yang ada.

Jemarinya saling berpagut, erat ibarat sepasang kekasih tak mau dipisahkan perang. Gemetar dan terlihat agak panik. Sepasang telunjuknya mulai memainkan peran dan menari begitu lincah. Seolah ada irama orkestra yang begitu cepat di sekitarnya. Putarannya seperti bianglala dengan kecepatan melewati batas. Semakin cepat hingga kini terhenti dan malah menjalar ke kedua kakinya. Syaraf di kakinya mulai mengangkat kedua sepatu memainkan nada yang acak.

Tak kuasa dengan gelisah yang semakin menghantui kini dia coba untuk beranikan berhenti. Berhenti untuk menatap laju sepatu, berhenti untuk menari jemari bahkan mencoba untuk berhenti mengehentak dengan nada tanpa arah. Sesaat lalu tubuhnya gemetar dan seakan goyah. Kini semuanya tegap dan kokoh seolah dituangkan carian pengeras beton.

Gue harus bisa ngomong ini sama dia. Batinnya mulai bersuara. Suara yang seharusnya dari dulu dia utarakan. Suara yang seharusnya tidak membawanya ke arah yang tidak pasti seperti ini.

"Lo kenapa brur? Ada masalah?" satu suara yang tak asing membuatnya menoleh.

"Gue mesti balik! Kunci kosan dimana? Mau packing nih. Keburu kemaleman entar."

"Lo tuh kenapa sih? Daritadi pagi lo suntuk banget dan sekarang lo tiba-tiba beringas," timpal Aden dengan tergesa-gesa memberikan kunci.

"Gue mau pulang ke rumah malem ini juga. Tak ada tapi dan tak ada yang ditunda lagi. Masalah gue ini cukup pelik dan krusial, Den. Lo yang paling tau seberapa krusialnya masalah gue saat ini. Ini tentang masa depan gue. Semua tentang kuliah gue, Den."

Lelaki di depannya itu kini hanya menatap sahabatnya dengan penuh keheranan. Ada rasa kaget dan sedih ketika mendengar ini semua tentang apa yang menjadi prinsipnya. Aden memang sangat mengenal dekat sahabatnya itu. Sejak awal masuk SMP mereka memang langsung bisa klop dan tak ada tapi. Ini adalah permulaan tahun ketujuh dengan kondisi jauh dari rumah. Baginya, tak ada yang lebih bisa mengisi kesehariannya selain sahabatnya itu. Kini Aden terkejut dengan fakta bahwa sahabatnya terancam tak bisa kuliah.

"Lo ngapain mesti pulang sekarang, Mal? Ini udah hampir gelap. Rumahmu dari sini tuh 3 jam, sesampainya di sana juga gak bakal ada yang nyambut lo! Semua orang udah tidur dan lo bakal ganggu istirahat mereka! Ngerti ngga?!"

Lelaki lusuh itu kini sedikit melambat pergerakannya. Layaknya gerigi mesin yang sudah berkarat. Tak mau bergerak dan terhenti begitu saja. Bahunya sedikit membungkuk. Kepalanya mulai agak condong ke depan. Lengan kiri yang tadinya membetulkan jaket kini terkulai lemah. Kepalan tangan dengan rentetan kunci itu perlahan masuk ke saku celana. Dia terdiam. Bisu. Sunyi.

Aden merasa bersalah atas sikapnya barusan. Kalimat yang dilontarkan tadi lebih kasar dari biasanya. Sahabatnya itu memang bagian paling penting buat Aden selain keluarganya. Aden memang terkenal kurang pandai untuk bergaul dan memulai suatu percakapan. Bahkan untuk kelompok siswa jenius, Aden tidak begitu disukai orang. Cuma lelaki lusuh itulah yang mau untuk lebih dekat dan mengenalnya, hingga sekarang. Selama perjalanan mereka, Aden baru kali ini meninggikan nada suara untuk sahabatnya.

. . . BERSAMBUNG