Kamis, 14 Juli 2011

Apa itu "Isyarat-isyarat cinta"??

Lama tak jumpa rasanya, setelah berbagai kesibukan dan aktifitas seminggu lalu. Senang rasanya bisa menulis kembali dan berbagi bersama teman-teman. Postingan kali ini tentang review sebuah novel terbitan dari Kaifa Mizan dan sedikit jadul. hehe

Ini dia wujud bukunya! Maaf agak seusah nyari gambar cover-nya. hhe
Judul buku : Isyarat-isyarat Cinta

Penulis       : Jean Ferris

Penerbit     : Kaifa Mizan (2003-an)


Buku yang terbit sekitar tahun 2002/2003 ini meraih penghargaan sebagai ALA Best Book For Young Adults. Pantas rasanya jika buku ini meraih pernghargaan seperti itu karena cerita yang ada tak hanya menarik dan bagus untuk diikuti, tetapi juga memberi banyak pelajaran. Bagi beberapa orang yang kenal denganku mungkin akan sedikit terkekeh ketika melihatku membaca, menenteng atau memajangnya di rak buku. Tapi biarlah, toh memang judulnya saja cukup untuk membuat tertawa kecil jika lelaki membacanya. Tapi kesampingkan itu cerita lama, kini kita langsung kupas tuntas bukunya.

Pasti ada banyak pertanyaan soal buku ini kan?? (kepedean)

Ceritanya berpusat pada sepasang remaja tanggung yang bisa dibilang normal seperti remaja lainnya namun juga bisa dikatakan luar biasa. Theo dan Ivy adalah remaja yang memiliki kemampuan untuk berbicara normal namun juga berbahasa isyarat. Mereka merupakan satu-satunya anggota keluarga yang tunarungu. Mereka berdua adalah penyambung lidah dan kehidupan bagi masing-masing keluarganya.

Theo yang menyayangi ayah dan adik-adiknya ternyata cukup untuk dibuat kesal oleh ibunya. Sedangkan Ivy yang menjadi satu-satunya penerjemah ayahnya malah menikmati kelebihannya itu. Theo mengagumi Ivy di sekolah maupun di luar. Namun bahasa isyarat membuat Theo cukup enggan untuk mendekati gadis tersebut. Sampai satu ketika mereka akhirnya berkenalan dan menjalin hubungan cukup dekat.

Hubungan mereka bisa dibilang sebuah wahana "halilintar" yang bisa membuat dada bergejolak. Bagi mereka hubungan itu lebih dari sekedar hubungan normal lainnya. Ketika remaja lainnya hanya pergi jalan-jalan, ke mall, nonton atau melakukan hal lain yang lebih menyenangkan. Berbeda dengan Theo dan Ivy, mereka harus membina hubungan juga harus berbagi kesenangan dengan masing-masing keluarganya.

Konflik batin mulai terjadi ketika Palma (ibunya Theo) harus rela berjuang sendirian untuk keluarganya setelah ayahnya Theo meninggal. Berat bagi Theo yang ketika itu hendak memutuskan untuk pergi melanjutkan kuliahnya karena harus memperjuangkan keluarganya. Belum lagi hubungannya dengan Ivy yang selalu mendorong Theo untuk maju mengejar cita-citanya. Keputusan yang sungguh berat untuk Theo mengingat Palma begitu bergantung padanya. Tapi dengan penuh keteguhan dan keteduhan, Ivy terus membujuk Theo untuk tidak melupakan mimpinya semata.

Di tengah keterbatasan dan keluarbiasaan lingkungan mereka, Theo dan Ivy mampu membagi kasih sayang satu sama lain dengan keluarganya. Di tengah tekanan keluarga yang cukup membuat pikiran tersita, Theo masih bisa berusaha untuk menjadi orang normal dan meyakini cita-citanya.

Selasa, 05 Juli 2011

He is our guardian

Assalamu’alaikum dan salam sejahtera bagi para pembaca

Maaf jika rubrik ini agak telat muncul tidak seperti dua rubrik sebelumnya. Kebetulan aku harus menyelesaikan urusan demi menyambung hidup di hari esok. Hehe

Sosok pertama yang akan kuperkenalkan adalah seorang pria berwibawa dengan panggilan Abi. Beliau adalah pribadi yang tangguh, tameng paling depan saat ada kesulitan, mesin tanpa lelah dalam mencari nafkah serta ucapan terbijak dalam mengingatkan. Lahir setengah abad lalu di Surabaya menjadikannya sosok yang cukup keras untuk ukuran orang Jawa.

Secara fisik, beliau tidak memiliki perawakan yang tinggi besar. Mental serta spiritualnyalah yang membuat sosok tersebut begitu “besar”. Jarang sekali bicara jika memang dirasa tidak perlu. Hingga sesekali orang lain terkesan menyepelekan beliau jika melihat sorot mata memandangnya. Tenang, lugas dan to the point merupakan daya tariknya jika mengajak lawan bicaranya berdialog. Beragam topik bisa menjadi sajian menarik dan tak henti dikupas tuntas olehnya.

Politik, agama, olahraga, ekonomi hingga wisata bisa menjadi obrolan menarik jika menjadi lawan bicara beliau. Tapi yang paling menarik perhatian beliau adalah ketika membicarakan langkah-langkah realistis melewati hidup. Itulah topik yang takkan habis dikupas dengannya. Rasanya akan memerlukan beberapa jam sampai pembicaraan itu tak memiliki intisari lagi.

Hal yang paling aku suka dari beliau adalah cara mendidik anak-anaknya. Ada treatment tersendiri baginya untuk mendidik kami ―aku serta almarhum adikku― ketika kecil. Percayalah, treatment itu berbeda sekali dengan seperti ayah kebanyakan. Abi juga membedakan treatment-nya antara aku dan adikku. Untuk belajar, aku sering diajak abi untuk berjalan ke sekeliling lingkungan namun tanpa menjelaskan apa pun.

Pernah satu waktu aku diajak berkeliling lingkungan rumah dan selama perjalanan itu abi hanya berucap satu kata, “Lihatlah.” Aku yang masih kecil dan tak tau apa-apa cuma bisa memandang wajahnya dengan tengadah tanpa melepaskan genggaman tanganku. Lalu secara spontan aku mulai memutar persendian leher ke kiri dan ke kanan hingga sesekali ke belakang tanpa ada penjelasan apa pun. Sampai keesokan harinya aku  mulai bawel untuk bertanya dan abi mulaai rajin menjelaskan secara pelan dan jelas.

Rasanya itu menjadi satu pelajaran paling menarik yang pernah aku terima selama ini. Aku belajar mengidentifikasi sesuatu sedari kecil hingga akhirnya seperti sekarang. Abi juga merupakan sosok yang penuh semangat ketika bersaing dengan ibu dalam menanamkan kesenangan masing-masing. Ibu yang sedari aku kecil menanamkan kesukaan mendengar serta membaca membuat abi tak mau kalah untuk bisa memberikan pengaruh soal kesenangannya dalam fotografi. Kesenangannya itu kini mengalir deras dalamperjuangan yang sedang kuarungi saat ini. Prosesnya mendidikku dalam hal fotografi juga lebih dari sekedar mengidentifikasi.

Bayangkan saja dahulu aku disuruh untuk lebih sering melihat sekitar dan mengahalkan setiap sudut penglihatan yang aku rasa itu menarik dan bagus untuk direkam. Setelah mengulang itu dengan lisan, esoknya baru diberikannya kamera analog untuk mengabadikan setiap hal yang menarik perhatianku dan itu layak direkam.

Satu hal yang masih melekat dalam pikiranku adalah sebuah kalimat ketika kami berjalan dini hari untuk memotret satu kawasan pasar di Bandung. Abi bebicara seperti ini, “Berjalanlah kamu sebanyak mungkin tanpa berhenti memperhatikan sekitar. Learn is look around in every single step you make, Son!”

Sampai saat ini kalimat itu masih tersimpan dengan baik dalam ingatanku dan sering aku jadikan motivasi tersendiri untuk melecut daya kreasiku dalam memotret. Sejujurnya, dalam hal memotret kami adalah saingan yang selalu enggan mengagumi hasil karya satu sama lain. Tapi aku begitu bersyukur memiliki sosok seperti beliau.

Someday, Abi pasti bilang kalau karyaku itu bagus!! J

Senin, 04 Juli 2011

All I (we) have to do is dream and believe it

Assalamu’alaikum dan salam sejahtera bagi yang sedang membaca.

Akhirnya satu tahap untuk memperbaiki kegagalan muncul juga, setelah hiatus selama tiga bulan lamanya sebuah wacana kini tampil menjadi nyata. Senang rasanya bisa membuat langkah itu jadi jejak. Ini adalah posting pertama di rubrik Quotes From The Experts. Sekedar mengingatkan, jangan terlalu berharap ini adalah satu posting khusus tentang quotes dari orang yang benar-benar terpandang ataupun sukses. Karena bagiku, quotes itu adalah satu kalimat yang diucapkan seseorang dan berdampak baik bagi yang mendengar atau membacanya.

Jadi quotes seperti apa dan dari siapa yang akan aku tuliskan hari ini. Simaklah di bawah ini :
“Keajaiban mimpi, keajaiban cita-cita dan keajaiban keyakinan manusia tak terkalkulasikan dengan angka berapa pun” ~Donny Dhirgantoro (5cm)
Ya! Kalimat di atas memang sangat berharga bagiku, karena tanpa sadar itu sudah mengubah sepersekian persen dari pikranku untuk kembali bergelut dengan mimpi. Kata siapa mimpi itu hanya penyedap hidup? Padahal buktinya banyak sekali. Banyak orang-orang besar terlahir dari mimpi yang besar juga.

Jika kita memiliki mimpi, jangan minder!
Jangan malu!
Jangan takut dicemooh!

Yakini itu! 
Tanamkan dan bangun!! 
Lakukan gerakan dan langkah yang konstan untuk mewujudkannya. Semua itu takkan mustahil adanya jika berusaha dan berdo’a. tapi yang paling penting dari semuanya adalah berserah serta percaya!!

Percayakan pada Tuhan tentang semua mimpi itu. Percayalah sesungguhnya Tuhan memiliki visi yang teramat sangat hebat untuk mewujudkan itu semua sesuai atau tidak, cepat atau lambat. Namun yang pasti, mimpi itu takkan pernah benar-benar tidak terwujud. Meski tidak sesuai, pasti ada benang merahnya. Meski terlambat pastilah ada hikmahnya. Percayakan pada Tuhan tentang mimpi itu.
“All I (we) have to do is dream” ~Donny Dhirgantoro (5cm)
Selamat bermimpi dan mengejarnya!!

Minggu, 03 Juli 2011

There's always another chances!!

Time, always give you another chances

Inilah yang namanya kehidupan. Semuanya berputar, tak ada yang statis. Tuhan saja menciptakan tata surya dengan perputaran yang sudah diatur secara presisi. Matahari, serta planet-planet yang mengekornya juga berputar. Lalu kenapa kita berharap bahwa apa yang sedang kita lalui ini harus diam? Padahal sudah jelas semuanya ada perputaran.

Bayangkan jika apa yang sekarang kita lalui ini harus diam tak ada pergerakan. ^^ Rasanya setiap orang akan berkoar-koar bahwa hidup itu tidak adil. Terjadi pergerakan / perputaran saja sudah banyak yang mengeluh dunia itu tidak adil. Ya! Inilah memang esensi kehidupan. Adanya perputaran, pergerakan, perubahan ataupun rotasi.

Jika saja semua yang ada itu diam tak ada perputaran, apakah kita sanggup untuk bisa menahan beban masalah yang sedang dialami? Apakah kita mampu pertanggungjawabkan kebahagiaan yang kita miliki? Jawabannya jelas belum tentu.

Andai saat ini kita sedang ada dalam sebuah masalah atau cobaan, optimislah bahwa itu akan selesai dan terlewati. Faktanya adalah kedua ―masalah dan cobaan― itu sulit, tetapi mungkin untuk dilewati. Anggaplah Tuhan sedang menambah kesabaran jika kita anggap itu cobaan. Atau bayangkan Tuhan sedang mengajari kita menyelesaikan sesuatu jika kita anggap itu sebuah masalah.

Serta jangan lupa! Tuhan tak pernah memutuskan ikatan dengan makhluknya seketika Dia dilupakan. Pernah membayangkan kalau saja Dia langsung memutuskan ikatan ketika kita melupakannya? Kita sudah pasti mati. Tapi Dia masih mencintai kita dengan hanya mengurangi sedikit dari hak kita untuk setiap harinya sampai kita akhirnya mampu “membuka” mata. Artinya, akan selalu ada kesempatan kedua, ketiga hingga seterusnya sampai Tuhan benar-benar muak.

Untuk itu, bersyukurlah selalu atas hal terkecil yang kita terima setiap harinya, dengan begitu kita akan bisa menjadi lebih baik lagi. Bersyukurlah karena Tuhan selalu sayang pada kita. Buka mata! Lihat sekitar! Jika kita tersandung, pastikan jangan sampai terperosok. Pasti ada orang selain kita yang pernah merasakan kondisi sama. Untuk itu bangkitlah! Tatap dunia! Pastikan kita pantas untuk membuktikan bahwa kita bisa jadi yang terbaik dan bangkit.

Karena Tuhan pasti memberikan kesempatan-kesempatan berikutnya untuk kita, maka kita juga sebagai makhluk harus bisa memberikan kesempatan itu pada diri kita pribadi terlebih pada orang lain. J

Semangat!!!

Jumat, 01 Juli 2011

This is what I called re-born

Laylaruna Kheria | Dhafie Paparu's daughter

Hello everyone!

Lama tampaknya kita tak berjumpa di dunia blog. Rasanya bisa dibilang hampir 3 bulan aku menghilang dari peredaran dunia tulis menulis di blog. Padahal di Mei awal aku sempat “bangun” dan memutuskan untuk come back secepatnya. Tapi ternyata itu sama saja, aku malah kembali lesu dan “tertidur” lagi.

Ini adalah awal Juli, fase kedua dalam tahun 2011 yang tanpa hasil apa-apa selain kemerosotan dan kegagalan dalam beberapa hal. Aku akui itu. Tapi apa yang sedang aku hadapi saat ini merupakan tamparan keras dan bakal kuingat dalam benak serta kepalaku. Sebagai suatu bukti bahwa aku sebagai manusia biasa juga pernah gagal.

Berat rasanya menerima fakta ini, bahwa ternyata aku memang gagal dalam beberapa hal. Hingga akhirnya aku memutuskan segera mengambil beberapa langkah untuk memperbaharui mental yang sempat terpukul ini. Setidaknya untuk segera bangkit dari keterpurukan dan kembali ke jalur yang pernah aku jalani beberapa waktu.

Meski terkadang memang enggan untuk meninggalkan rasa nyaman yang selama ini  aku punya, nyatanya aku harus bangun. Aku harus bisa melihat sekitar lebih detail lagi. Bahwa sejatinya aku memiliki lingkungan yang positif, kawan yang mendukung serta kegiatan yang sebetulnya aku nikmati dan begitu positif.

Dua hari kemarin aku berjuang keras untuk melupakan kejadian buruk ini. Banyak cara aku lakukan, mulai dari mengelola data foto yang ada di laptop, menulis jurnal, sms kawan lama, dengerin playlist tahun kemarin hingga ―yang paling sulit― “menata hati”.

Tapi dengan Ta’udz dan Basmallah akhirnya aku melangkah dan menyatakan bahwa aku kini terlahir kembali dengan ruh yang jelas ingin menjadi lebih baik lagi. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk mimpi besar yang kumiliki dan ingin aku wujudkan. Itu saja.
“Ya Rabb yang maha membulak-balikkan hati, dengan ini aku memulai langkah terbaik yang aku bisa untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Berikan kelancaran dan kemudahan dalam setiap perjalanannya, serta senantiasa limpahkan rahmat dan maghfirah bagi siapa pun yang menitipkan do’anya untukku.”
Bagi rekan-rekan yang selama ini sering mampir ke halaman ini dan beberapa tulisanku selama ini, aku ucapkan terima kasih untuk semua apresiasinya. Untuk ke depannya aku betul-betul butuh bimbingan dari rekan-rekan dalam menulis, terlebih yang paling penting adalah dorongan semangat supaya aku bisa tetap menjaga konsistensi berkarya.

Jazakallah atas semua dukungan rekan-rekan.

Jumat, 06 Mei 2011

Ibarat Jarum Dalam Jerami

mengais
Hari ini adalah pertama kali jemari menjejak di keyboard setelah "hibernasi" selama satu bulan lamanya. Proses tidur ini terjadi setelah kepulanganku dari negeri para dewa dimana seribu pura berada, BALI. Cukup kesulitan memang karena seminggu berada negeri itu membuatku mulai kehilangan mood, baik menulis maupun memotret. Rasanya aku kehilangan semua sense untuk dua hal tersebut hingga terkadang aku merasa kehilangan semuanya.

Ketika mulai kesal menghadapi semua kekosongan, jemari yang mulai kesal akhirnya menggeliat dan mencoba berontak. Dalam kelelapan sense of art yang ada, mataku mulai sinergi dengan segala indera yang ada untuk mencoba kembali bangun dan mengurai karya baik dalam kata maupun gambar.

Karya pertama yang mewakili tidur panjang itu adalah foto yang terlampir di sebelah kiri tulisan ini. Foto nelayan di Muara Angke ini memang sangat mendasari tulisan pengantar C O M E B A C K setelah tidur panjang. Potret nelayan ini sebenarnya begitu khas dan mewakili pencarian sense of art yang sempat hilang sebulan lalu bagai nelayan mencari ikan di keruh dan hitam pekatnya laut utara Jakarta.

"meskipun pencarian sense of art itu susah, bagai mencari jarum di tumpukan jerami ataupun mencari ikan di pekat laut jakarta, aku harus tetap menarik keluar makhluk langka itu"

Jumat, 01 April 2011

Surat Untuk Tuhan


tik . . . tok . . . tik . . . tok . . . tik . . . tok . . .

Pagi ini masih teramat dingin untuk membuka mata menerima dunia. Kamarku memang terang benderang dihiasi sinar neon. Tapi, di luar sana aku yakin masih terlalu gelap untuk melakukan perjalanan. Kuraih jam tangan yang biasa kusimpan di bawah bantalku baru menunjukkan jam empat pagi. Caranya menyeret waktu terkesan kasar di telingaku karena dia memang jam yang sudah uzur.

Mataku baru saja terpejam dua jam lalu dan kini harus terbuka dengan perasaan sesak tak karuan. Nafasku memburu, jantungku derdetak terlalu kencang tak wajar dan perasaanku sedikit cemas, kalut, takut serta sedikit tak percaya. Selama ini aku selalu terbebas dari gangguan mimpi buruk dalam tidurku, karena selalu ada mantra yang kubaca sebelum menjelang memejamkan mata.

Pagi ini, dengan penuh kuasa akhirnya Dia memberikan mimpi padaku tentang seseorang dan suatu hal. Aku sungguh dibuat-Nya terkejut seolah terkena sengatan listrik ringan. Padahal dua jam sebelumnya aku baru saja mengakui rasa bersalahku terhadap seseorang dalam satu pengakuan setelah Qiyamul Lail. Ada tangisan yang meluncur perlahan menghangatkan pipi.

Keterkejutanku kini memaksa tangan kananku menggapai jantung yang sedang berdetak cepat tak karuan. Dengan perasaan yang sedikit sesak, akhirnya aku beranikan diri mengingat mimpi, sosok serta hal sempat membuatku terkejut. Pikiran dan mataku baru bisa sejalan setelah nafasku mulai kuatur ulang secara perhalan.

Pandanganku menatap langit-langit kamar dengan tatapan sendu seolah terangnya kamarku kini kian temaram. Kupalingkan wajah ke arah kanan menatap satu potret tentang seseorang dan parasnya yang hiasi meja belajarku. Perlu waktu agak lama untuk duduk tegak di atas tempat tidurku ini. Karena pikiranku masih tak karuan dan mengaduk perasaan.

Kupaksakan badanku untuk berdiri dan melangkah ke kamar mandi dengan gontai. Kuayun gayung mengumpulkan air yang masih sangat dingin. Perlahan bulir-bulir air itu menyentuh wajahku memberi rasa sejuk yang sedikit menenangkan. Wajahku terasa segar, badanku kini seikit tegak dan pikiranku mulai terjaga sepenuhnya siap membuktikan mimpi itu.

Jemariku mulai bermain di atas qwerty laptopku. Pikiranku mulai lincah memburu jalan tercepat menuju pembuktian mimpiku. Mouse di tangan kananku kini mulai menjelajahi aplikasi laptopku hingga kini sudah jauh meninggalkan kamarku dan berada di dunia maya. Jari-jemariku mulai menuju satu jejaring terbesar saat ini karena itulah yang bisa membuktikan mimpiku.

Dadaku mulai bergemuruh berharap apa yang menjadi mimpiku itu tak nyata. Nafasku kini tak selancar ketika wajahku dibasuh air pagi hari. Mataku lari kesana-kemari mencoba melihat setiap bagian layar laptopku hingga terhenti di satu halaman yang ternyata history-nya telah terhapus. Lenganku mulai lunglai dan lemas, pikiranku berlari mencari kembali ragam tanya yang pernah kututup rapat. Aku cuma bisa bertanya dalam hati atas apa yang terjadi pagi ini. 

Tapi yang pasti, ini adalah kali pertama aku terbangun dari mimpi buruk dan ternyata itu terjadi.

pesawat menuju Tuhan

Tuhan, aku harap keluh dan gundah yang kutulis ini sampai ke hadapan-Mu. Inginku, Engkau menenangkan hati ini sesegera mungkin dan membuatku lebih tegar lagi bahkan lebih tegar dari batu karang sekali pun.

Ruang Hati, 1 April 2011

Hamba-Mu

Selasa, 29 Maret 2011

Kabur Bukan Hilang

blurism
Sore hari, semuanya menjadi hiruk pikuk. Penuh sesak tak bercelah. Jalan raya kota ini menyempit seketika tanpa peringatan. Peluit melengking di kiri kanan jalan memberi  arahan bagi yang hendak menepi. Klakson saling bersahutan tak karuan penuh ketidaksabaran. Mulut pun tak mau kalah berirama, mereka teriak dengan berbagai ekspresi. Marah dan kesal seolah sudah biasa.

Kota ini kian sendu, setiap sudutnya kini berganti warna. Ufuk barat mulai menampilkan pesona senja nan rupawan. Sementara di timur gelap mulai menyandera ceria kota secara perlahan. Satu persatu kendaraan roda empat mulai menyalakan head lamp. Karena sepasang mata tak awas dan temaramnya lampu jalan tak lebih dari bantuan biasa saja.

Lampu rumah dan pertokoan mulai berlomba menjadi penerang. Tak hanya berwarna kuning keemasan atau neon putih terang. Lampu temaram pun masih cukup menawan. Setidaknya masih mampu menahan mereka yang berpulang untuk singgah menjelajah malam. Gemerlap pertokoan kawasan Merdeka paling banyak menjaring kawanan.

Tatapanku tertuju pada jembatan penyebrangan nan usang. Dia masih tetap berdiri kokoh bersedia melayani siapa pun dan kapan pun. Meski banyak yang menantang laju kendaraan tanpa ikuti aturan. Jembatan itu yang selalu membuatku merasa bahwa kota in terlihat anggun meski telah malam. 

Kota ini memang suda renta tak berdaya. Banyak "budaya" tergadai demi kepuasan semata. Tak banyak keramahan tersisa pun dengan penghuninya. Perantau mendominasi, sementara atau lama sekali. Malam makin larut dan umur kota ini pun kian bertambah. Dia semakin keriput dan menua. Tak ada anti-aging yang mampu menahan proses rentanya.


Ya! 
Bandung kian renta. 
Tak berdaya dan semakin tua. 
Di telan gelap semua menjadi kabur, tapi tak hilang. 
Dia masih tetap menawan. 
Dia masih tetap Bandung!

suatu prolog untuk Bandung Yang Kian Renta

Rabu, 23 Maret 2011

Something Called "Home"

Bangunan itu tidak megah seperti deretan hunian di pinggir kota dengan bandrol selangit dan arsitektur menawan dan indah. Dia juga tak bisa membanggakan tunggangan si empunya karena tak ada halaman peristirahatan untuknya.  Tersamar begitu rapi dari balik sebuah taman peristirahatan para pahlawan negeri. 

Tak ada yang sangat spesial memang ketika aku melihatnya secara sekilas dan kasat mata. Penglihatanku hanya menangkap sebuah bangunan yang berukuran kecil dengan pagar besi setinggi pundak. Teras depannya begitu mungil dan terdiri dari beberapa ubin saja. Tak ada hal mewah di sana, semua serba sederhana dan apa adanya. Tak ada yang berlebih ataupun dilebih-lebihkan.


Seketika pintu terbuka baru dapat kulihat keistimewaan, kemegahan dan kehangatan yang ada. Terlindung begitu rapat sehingga mereka pernah memasuki baru bisa merasakannya. Takjub yang dirasa ketika pandanganku dipenuhi beberapa tumpukan buku. Deretan judulnya beragam, dari buku agama hingga ilmu pasti, dari buku motivasi hingga tumpukan fiksi. Semuanya berbaur tanpa perbedaan dan sekat yang tersemat berdasar kategori.

Satu sofa usang tergolek lemah begitu saja namun masih siap untuk menahan beban siapa saja. Masih ada perasaan hangat di dalamnya, hingga tetap bisa memberi nyaman bagi mereka yang hendak bersandar. Televisi tua terbujur kaku manatap ke arahku. Kelu hanya membisu. Tak satu pun warna yang mampu dipancarkan. Di arah kiriku berbaris tiga meja belajar yang menjadi  kawan setia si pemilik. Mungkin juga milik adik-adiknya. Masih tetap berhias tumpukan buku di atasnya.

Bagi si pemilik, bangunan ini tak hanya sekedar rumah biasa. Rumah ini ibarat diary tak bernoda, dia tak banyak bertuliskan jalan cerita namun menjadi saksi nyata perjalanan pemiliknya. Rumah ini juga sebuah penjaga mimpi serta pelepas penat perjuangan menggapainya. Berpuluh tahun sudah berbagai cerita disaksikan si rumah ketika pemiliknya mengadu. Teramat sangat berat untuk ditinggalkan karena menyimpan banyak kenangan. Namun semua harus berjalan, rumah ini harus bisa menerima kepergian pemillik setianya pun sebaliknya.
This is what she called "HOME"
Selamat tinggal, rumah! Meskipun kita baru ketemu dan bercengkrama dalam 14 jam, namun aku begitu nyaman. Rasanya aku bakal merindukanmu, juga lantun adzan di sampingmu. ^^

NB : Ini merupakan satu cerita tentang rumah yang pernah di tempati seseorang. Untuk sang pemilik, nikmatilah waktu-waktu terakhir kalinya ini. ^^

Jumat, 18 Maret 2011

Di Balik Hujan

Melancholy 
Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam.
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini. 
Menanti seperti pelangi setia menunggu hujan reda.



Aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember




[efek rumah kaca - desember]



Alunan lirik milik salah satu band indie itu kian sering mengalun menghiasi tiap dinding kamarku beberapa hari terakhir ini. Tiap nadanya kini semakin jelas terngiang dalam ingatanku dengan berbagai kenangan yang terjadi di beberapa hari terakhir. Mataku perlahan terpejam mengikuti irama lagu yang dipantulkan oleh dinding-dinding kamar. Imajinasiku memainkan cuplikan not balok yang melayang pelan di sekitarku. Begitu anggun hingga aku memasuki dunia yang bukan milikku. Sebuah dunia yang tak di belenggu oleh dinding pembatas, begitu luas hingga aku bisa melihat tak ada ujungnya.

Suaranya semakin pelan dan bergantikan score yang menjadi soundtrack satu film animasi impor dari negeri Paman Sam. Forbidden Friendship karya John Powell ini membuat pikiranku perlahan terjaga dari dunia imajinasiku, dunia yang bukan milikku. Perlahan aku merasakan tubuh menghilang dari dunia itu seperti melalui sebuah gerbang antar dimensi yang kini membawaku kembali pada kursiku. Penglihatanku kini tertuju pada kalender kaku dari kayu.

Seminggu sudah aku mengurung diri di kamar hanya berkawankan satu laptop, kamera, jurnal perjalanan dan tentunya segelas teh hangat. Aku menatap ke luar jendela menembus kerangkeng transparan yang bermandikan bulir-bulir air hujan. Tampak jalanan sudah kian sepi oleh kendaraan yang lalu lalang menghindari serbuan air demi memperpanjang nafas untuk hari esok. Kini yang kulihat hanya derasnya air yang turun dari langit menyirami setiap sudut penglihatanku.

Kusandarkan kembali badanku di kursi malas yang setia menemani dalam tujuh hari terakhir ini. Tangan kananku masih memainkan mouse ke sembarang arah, sedangkan lengan kiriku jatuh lunglai tak bertenaga hingga mampu kurasakan semakin kaku di ujungnya. Mataku masih tak lepas dari layar monitor redup bergambarkan satu cangkir teh tak jauh dari kaca jendela.

Batinku berbisik, adakah dia juga sedang memperhatikan hujan yang sama? Hujan yang pernah menjadi jembatan kata bagi kami berdua. Hujan yang pernah kuberitahukan padanya bahwa tentang kenyamanan ketika berada di bawahnya. Hujan yang selalu aku banggakan padanya.

Hujan yang sedang kutatap ini memang sama seperti hujan lainnya. Hujan yang berkomposisikan bulir air tak dapat ditahan oleh pembawanya. Tapi bagiku, hujan ini bukan hanya sekedar buliran air seperti kebanyakan. Lewatnyalah aku sering bercerita, marah, kesal, senang, kecewa ataupun takut. Jika hujan tiba, aku selalu memandanginya dengan penuh harap supaya bisa mendapat kenyamanan darinya seperti saat-saat sebelumnya.

Hari ini aku masih memandangi luar jendelaku, merasakan setiap denyut pembuluh ini begitu tak kuat untuk mencurahkan segala hal yang selama seminggu ini dirasakan begitu berat. Pikiran dan segala perasaan dengan prasangka yang mulai tak karuan ini ingin sekali aku keluarkan. Begitu kuatnya hingga kakiku mulai menapak kuat pada lantai kamar memberi sinyal pada otot kaki dan tulangnya untuk berdiri menopang berat tubuhku. Punggung yang tadinya nyaman, kini tak ingin lagi bersandar pada kursi malas. Dengan tolakan yang lumayan dari lenganku, kini pantat dan punggungku terangkat mengikuti irama otot dan tulang kaki untuk lurus tegak seirama. Tahta teratas tubuh ini juga tak mau kalah dan memberi komando pada seluruh syaraf untuk berdiri tegak.

Tubuhku memutar berlawanan arah jarum jam dan langsung berjalan pelan menuju pintu untuk keluar dari penjara pikiran ini. Aku menyusuri lorong kecil ke arah kanan kamarku untuk menuju tangga. Kurentangkan tanganku hingga dindingnya dapat kurasakan oleh telapaknya. Kulewati berbagai foto berbingkai yang terpajang kaku di dinding itu hingga kini tepat berada di depan tangga. Kulayangkan pandangan ke setiap anak tangganya diikuti langkah kaki untuk menaikinya, satu demi satu. Semakin atas kurasakan udara semakin dingin dan dapat kulihat rembesan air di pintu terakhir yang kutuju. Tepalak kakiku mulai mengenali air yang menggenang dan dingin yang dibawanya. Tanganku meraih pegangan pintu dan memutarnya perlahan sehingga aku bisa membebaskan pikiranku sedikit demi sedikit.

Celah di depanku kini semakin melebar mempertemukanku kembali dengan dingin dan hujan yang aku kenal. Aku melangkah melewati batas manusia normal memilih untuk menjadi sosok bertemankan hujan. Setelah merasakan dingin yang biasanya, kini aku berani melaju lebih jauh ke tengah lantai paling atas di rumahku. Tubuhku kini kuyup di bawah riuh dan ramainya air hujan, bajuku mulai layu menahan berat air yang begitu banyak.

Kuangkat kedua lenganku setinggi bahu dan kurentangkan, kepalaku mulai tengadah menantang datangnya bulir air. Mata mulai terpejam dan aku serasa berada di dunia yang berbeda lagi, dunia yang sudah jelas bukan milikku. Kini aku menenangkan diri di bawah tarian hujan, mengistirahatkan penglihatan, menormalkan pernafasan, merasakan seluruh udara membawa serta pikiran dan aura negatif selagi jantungku memompa darah dan mengalirkan energi positif ke dalam pikiranku.

Tubuh ini mulai kembali tenang, segala pikiran yang membuat setiap oragan dan syaraf menjadi gelisah kini telah lenyap dibawa sang hujan. Mataku perlahan terang-terangan terbuka dan melawan sang air. Lenganku tak lagi terbuka seperti sebelumnya, kini ia tengadah di depan dada seperti posisi orang berdo’a.

I across the universe

Kamis, 17 Maret 2011

Sebuah Kisah (#4)

Aku memutar badan dan pandanganku secara perlahan searah jarum jam sambil mengamati setiap lekukan ruangan ini. Dindingnya memang masih sangat baru, tapi di baliknya ada satu sosok bisu yang menjadi saksi ceritaku dengan seisi ruangan ini. Ruangan ini makin hangat seketika mentari mulai melawan rimbunnya dedaunan di sisi timur. Kaca-kaca itu pernah jadi sosok penjaga emosiku untuk tidak meninggalkan ruangan sebelum waktunya tiba. Kaca-kaca itu pula yang menjadi kanvas untuk telapak tanganku di setiap paginya.
Pandanganku sampai di sudut ruangan dengan singgasana yang anggun dan agung untuk seseorang yang menjadi panutanku. Singgasana itu lengkap dengan bunga plastik dan beberapa alat tulis seadanya. Sebelah singgasana itu, sebidang papan tulis putih penuh coreng-moreng ucapan Darwin telah memberiku banyak hal. Satu sosok hangat yang setia menaburkan benih bekal masa mendatang tanpa takut coreng-moreng.
Akhirnya pandanganku tertuju pada singgasana yang menjadi kebanggaanku. Namun tak kusangka duduk di sana seseorang yang sangat aku kenal dan entah sudah berapa lama dia ada di situ. Pandangannya yang lembut membuatku sedikit malu untuk mengakui kelemahanku di depan lemari usang tadi. Bibirnya mengembangkan senyum yang setiap hari kutemui. Senyum tulus yang membuatku harus mengakui kelemahanku tadi di depannya. Tangan kananku yang kaku memegang buku biru itu kini terkulai tak ada daya.
Dia berdiri secara perlahan diikuti deritan singgasana yang biasa kupakai. Lengannya merapikan jilbab langit yang dia kenakan pagi itu. Tatapannya mulai menantang mataku dengan hiasan lesung pipit di pipi. Tanpa pikir panjang dia pun berjalan ke arahku dengan perasaan tanpa ragu. High heelsnya kini mengeluarkan irama yang membunuh keheningan pagi. Tak butuh waktu lama, kini dia berada sekitar 30cm di hadapanku masih dengan senyumnya yang tulus. Lengannya menggamit lenganku dan berada di sampingku. Perlahan kakinya melangkah yang serta merta diikuti langkahku. Sejenak dia menatap wajahku dan tersenyum, sambil melangkah bibirnya mengucapkan beberapa kalimat yang tak asing juga untuk telingaku.
Mentari memang tak begitu terik menyapa
Pun dengan kehangatan tak muncul ketika dicari
Langkah kaki yang kau kirim
kini membawaku melintasi
berjuta mimpi
Dalam setiap detiknya ada
kehangatan terbalut sejuknya embun
untuk itu kan kuucapkan
“Terima Kasih!”

#END OF 1st CHAPTER#


Alhamdulillah akhirnya chapter pertama dari satu kisah perjalanan ceritaa ini telah selesai. Aku ucapkan terima kasih untuk teman-teman yang mengikutinya dari bagian satu. Insyaallah cerita ini masih akan berlanjut menuju chapter kedua yang masih berada di dapur editing. Aku harap teman-teman akan tetap setia untuk mengikutinya.

jika ada masukan atau saran membangun, silakan sampaikan di kolom komentar. 
salam karya! 

Senin, 14 Maret 2011

Sebuah Kisah (#3)


Semuanya masih tetap dingin dan tak ada kehangatan terpancar dari apa pun yang aku pandangi. Jarum jam menunjuk angka  enam dan angka dua belas. Sudah cukup pagi menurutku untuk memulai kegiatan. Tapi ruangan ini masih tetap hening tanpa hiruk pikuk seperti biasanya.


Arah jam sebelasku berdiri kulihat lemari usang penuh dengan buku yang entah milik siapa saja. Aku ingat, lemari itulah yang selama ini memberikan berbagai bekal untukku hingga sampai pada hari ini. Tanpa pikir panjang, aku berjalan ke arah lemari usang tersebut berharap apa yang sempat aku titipkan masih tetap di tempatnya. Ada binar cahaya mentari yang masuk melalui celah dedaunan seolah hendak memberi pertolongan dalam pencarian. Samar-samar kulihat satu buku berwarna biru yang sangat aku  kenal. Semakin jelas kulihat bahwa buku itu masih tetap di tempat yang sama seperti terakhir aku melihatnya.


“Tak se-ke-dar ta-ri-an je-ma-ri,” begitu mulutku menggumam ejaan yang tertulis di sampul depannya.


Tangan kananku berusaha menggeser kaca penutup itu dengan agak susah payah. Tanpa sadar tangan kiriku mulai membatu sekuat tenaga yang kupunya pagi itu. Tak butuh waktu lama untuk membukanya hingga akhirnya kuraih buku bersampul biru nan usang itu. Di sudut kanan bawah sampul depannya terukir huruf “S” dan “A”yang tercermin menjadi huruf “A” dan “Z” yang menyerupai dua huruf sebelumnya.


“Lama tak bersua kawanku,” bisikku lirih saat membuka sampulnya.


Kutemukan beberapa baris kalimat yang direkam jelas ingatanku dan masih sering sering kupakai sewaktu-waktu, di halaman yang kini mengahadap wajahku. Kalimat yang selalu menjadi pengantar pagi di setiap mataku memandang sekitar. Kalimat yang memberikan sejumput semangat untuk melalui setiap harinya. Kalimat yang membasuh lelah jiwaku di pagi hari. Kalimat yang masih berbunyi sama sampai saat ini aku menggunakannya. Perlahan namun pasti bibirku mulai menggumamkan kalimat-kalimat tersebut.
Sapa embun pagi yang datang
bawakan mimpi
Kembarakan harimu dengan langkah-langkah kaki
yang iringi sejuta hari
Untuk itu kan kuucapkan
“Selamat pagi!”
Pandanganku sedikit kabur, ada yang gumpalan transparan di kantung mataku yang tak terbendung dan akhirnya meluncur perlahan. Kuseka pipiku perlahan sambil sedikit terisak, dari sini semuanya berawal dan entah akan sampai kapan cerita ini berlanjut.
Tanpa terasa jarum jam menunjuk angka enam dan tiga, sedikit demi sedikit suasana hangat yang dinanti kian merebak. Lemari usang di hadapanku kian memancarkan setiap sudutnya dengan jelas. Coretan kreatif anak-anak muda mulai yang menghiasi setiap sisinya, makin menegaskan bahwa ini memang sebuah lemari usang. Tak banyak bercerita aku dengan lemari ini, namun titipan yang sudah sejak sekian lama aku simpan menyiratkan banyak cerita bersamanya.
“Terima kasih sudah menjaga kepingan ceritaku di ruangan ini,” bisikku pada satu sudut lemari itu.

Sabtu, 12 Maret 2011

Keep Smile...! (Tetap Tersenyum)

Mr. Smile
Lihat sepatu yang ada di foto?
     Itu adalah satu dari sekian banyak barang yang sangat berarti bagiku. Tanpa dia, apalah jadina diri ini? Jangankan berlari, mungkin berjalan saja aku tak sanggup. Bukan ingin hiperbola tapi memang diri ini memiliki batasan. Bayangkan jika aku harus bertelangjang kaki kemana-mana, entah bakal jadi seperti apa telapak kaki ini jadinya.
     Dia kutemukan sekitar 5 tahun yang lalu tepatnya di tahun 2006. Mejeng dengan harga yang aduhai menggoda karena pada saat itu memang sedang "BIG SALE". Tanpa pikir panjang langsung kudekati dia hendak memandang dari dekat siapa tau memang kami cocok untuk bersama. ^^
    Saat itu dia begitu cantik, masih putih dan sangat mulus. Tapi lihatlah sekarang, dia sudah renta untuk umur sepatu yang notabene selalu dipakai kemana pun kecuali di rumah. Tampilannya yang kian kusam dan buluk itu memang sudah menjadi pandangan biasa bagiku, bagian bawahnya pun kini sudah ampir jebol. Jika kami harus menerjang hujan, tak jarang dia meminum banyak genangan air di jalan.
     Tapi selama jalan bareng dengannya, tak pernah sekali pun kulihat dirinya bersedih. Selama kami jalan, dia selalu tersenyum ketika menahan berat tubuhku, meminum genangan air atau dihinggapi debu jalanan. Bahkan ketika sekarang sudah hampir jebol, dia masih tetap tersenyum! 
Dia memang hanya sepatu usang yang renta, tapi emote yang tersemat padanya selalu mengingatkanku bahwa masalah bisa kita hadapi dengan senyuman.
   Saatnya kita memulai untuk menghadapi setiap permasalahan dengan tenang dan tetap tersenyum. Sesungguhnya Tuhan tau apa yang terbaik bagi kita. 
Karena rencana Tuhan selalu indah dan rencana kita hanya bagian kecil dari rencana-Nya.
     Ada satu quote yang selalu aku pegang sampai saat ini :
AKU BAGIAN DARI RENCANA-MU 

Rabu, 09 Maret 2011

Sebuah Kisah (#2)

Kutengadahkan wajahku pelan ke arah garuda yang dengan setia tetap menjaga ruangan ini, menemani sepasang singgasana dan sosok hangatku. Dia kaku namun tidak membatu, sayapnya yang dibentang lebar memberi isyarat bahwa dia selalu siap sedia dan begitu tangguh. Perisai yang melindungi jantungnya menandakan bahwa dia berani menahan serangan apa pun untuk melindungi bagian terpenting. Kaki kuatnya mencengkram falsafah yang menjadikannya paling bijak seantero ruangan ini. Setiap harinya dia mengingatkanku untuk selalu menjunjung rasa hormat pada seisi ruangan ini.

Seraya membalikkan badan memunggunginya hatiku bergumam, “bhineka tunggal ika-mu menyadarkanku bahwa aku hanya bagian kecil dari seantero negeri ini, Bung.”


Kulihat jarum jam menunjukan pukul enam kurang seperempat dan pagi masih enggan berikan hangatnya. Rimbun dedaunan di sisi timur masih ingin memberikan kesempatan pada angin dingin kota ini menyapa setiap yang dijumpainya. Kristal air di sudut atas kaca ruanganku berada masih tak mau pergi meski cahaya mentari perlahan mengusir dengan lembut. Tepat di sudut atas kaca arah pukul sembilanku berdiri, tersirat satu jejak manusia berbentuk telapak tangan kanan yang mungil untuk ukuran seumurku. Jejak yangmembuat rasa penasaranku bangun dan ingin mencari tahu siapa gerangan pemiliknya. Sebuah gambaran telapak tangan dengan jari-jemari yang panjang namun tetap mungil.


Tak jauh dari  kaca tempat jejak itu terpatri, ada sepasang singgasana besar nan anggun milik seorang bijak di ruangan ini setiap jamnya. Seseorang yang cukup bijak untuk menceritakan kemegahan dunia dan belahan negeri lain beserta isinya. Seseorang yang cukup tangguh untuk menceritakan kisah heroik di setiap sudut kota tempat perjuangan. Seseorang yang cukup wibawa untuk menceritakan betapa indahnya pegangan hati setiap orang di bumi ini. Seseorang yang selalu kuhormati ketika dia membeberkan setiap kata dalam balutan pengetahuan. Singgasana inilah yang akhirnya memberikanku banyak bekal untuk berkelana menyambut kerasnya bola dunia.


Maka pada singgasana inilah aku berucap, “tanpa kenyamanan yang kau berikan, sudah pasti seseorang itu selalu gusar melihat waktu di tiap detiknya.”
     
      Jarum jam hanya bergeser satu angka saja dari tempat sebelumnya kulihat. Kembali aku menatap menembus kaca ruangan tempatku berdiri. Semuanya masih tetap sama, jalanan masih lengang hanya sesekali kulihat seorang pria paruh baya mencoba mengayuh pedal dengan sisa tenaganya. Tak ada kehangatan dari sekitarnya, mentari masih enggan menyeruak dari balik dedaunan rimbun itu. Mataku mengikuti kemana arah pria paruh baya itu mengayuh hingga menemukan sosok wanita yang menggendong bayi kecil dalam dekapannya. Tangan kanannya memegang tas besar seolah memuat semua perlengkapan untuk dia dan bayinya. Tak sedikit pun kehangatan terpancar dari mentari pagi untuk bayi kecil itu, semuanya masih tetap dingin. Kualihkan pandanganku pada deretan pagar tembok setinggi pinggang orang dewasa yang mulai kusam dimakan usia dan kreatifitas anak muda.

The Footprints of Life

langkah mengukir dunia

Alhamdulillah setelah sekian lama bergelut dengan pertimbangan baik dan buruk tentang blog, maka akhirnya saya telah menyelesaikan berbagai bahan serta mematang kan isi blog yang sedang rekan-rekan kunjungi sekarang. Blog ini memang sudah lama ingin saya realisasikan, mungkin sekitar 1 tahun yang lalu ketika saya mulai terjun ke dunia fotografi kembali. Saat itu saya berpikir akan lebih baik jika hasil jepretan amatir saya di share kepada rekan-rekan semuanya. Ada beberapa hasil jepretan yang saya rasa memang memiliki cerita, baik yang saya tangkap momennya secara tak sengaja ataupun memang karena saya menciptakan momen tersebut.

Tidak hanya pertimbangan fotografi yang membuat saya akhirnya merealisasikan blog ini, tapi juga karena adanya berbagai cerita dan kisah lama tentang keseharian saya dengan lingkungan sekitar. Kisah-kisah tersebut sedikit banyak membuat saya termotivasi untuk tetap bertahan di tengah kerasnya lingkungan yang ada. Itu semua memang hanya kisah lama yang tak lebih dari kenangan belaka, namun kesemuanya itu mampu memberikan nilai tambah bagi saya pribadi.

Maka dari itulah saya mengambil “The Footprints of Life” sebagai nama blog ini, karena semua elemen yang ada di dalamnya adalah sebuah komponen dari kehidupan yang sejati. Mungkin rekan-rekan ingat dengan slogan ini, “Tidak mengambil kecuali foto. Tidak membunuh kecuali waktu. Tidak meninggalkan kecuali jejak.” Isi blog ini akan berkisar seputar foto-foto yang saya ambil, cerita saya dengan komponen lingkungan, motivasi dari kawan dan berbagai buku serta berbagai kutipan artikel yang menggugah. Jejak kaki yang saya dan rekan-rekan tinggalkan dalam setiap harinya adalah sebuah harta karun yang tak ternilai harganya, sebuah penginggalan bersejarah yang bisa menjadi sebuah dongeng bagi generasi penerus nantinya bahkan bisa jadi sebuah legenda bagi dunia. Semoga rekan-rekan mau mengingat setiap kenangan dan jejak langkahnya baik ataupun buruk dan mengambil hikmah dari setiap ukirannya.

Selamat mengukir jejak dan menyimpan harta karun!

foto saya ambil sendiri di Pangumbahan, Sukabumi.