Selasa, 29 Maret 2011

Kabur Bukan Hilang

blurism
Sore hari, semuanya menjadi hiruk pikuk. Penuh sesak tak bercelah. Jalan raya kota ini menyempit seketika tanpa peringatan. Peluit melengking di kiri kanan jalan memberi  arahan bagi yang hendak menepi. Klakson saling bersahutan tak karuan penuh ketidaksabaran. Mulut pun tak mau kalah berirama, mereka teriak dengan berbagai ekspresi. Marah dan kesal seolah sudah biasa.

Kota ini kian sendu, setiap sudutnya kini berganti warna. Ufuk barat mulai menampilkan pesona senja nan rupawan. Sementara di timur gelap mulai menyandera ceria kota secara perlahan. Satu persatu kendaraan roda empat mulai menyalakan head lamp. Karena sepasang mata tak awas dan temaramnya lampu jalan tak lebih dari bantuan biasa saja.

Lampu rumah dan pertokoan mulai berlomba menjadi penerang. Tak hanya berwarna kuning keemasan atau neon putih terang. Lampu temaram pun masih cukup menawan. Setidaknya masih mampu menahan mereka yang berpulang untuk singgah menjelajah malam. Gemerlap pertokoan kawasan Merdeka paling banyak menjaring kawanan.

Tatapanku tertuju pada jembatan penyebrangan nan usang. Dia masih tetap berdiri kokoh bersedia melayani siapa pun dan kapan pun. Meski banyak yang menantang laju kendaraan tanpa ikuti aturan. Jembatan itu yang selalu membuatku merasa bahwa kota in terlihat anggun meski telah malam. 

Kota ini memang suda renta tak berdaya. Banyak "budaya" tergadai demi kepuasan semata. Tak banyak keramahan tersisa pun dengan penghuninya. Perantau mendominasi, sementara atau lama sekali. Malam makin larut dan umur kota ini pun kian bertambah. Dia semakin keriput dan menua. Tak ada anti-aging yang mampu menahan proses rentanya.


Ya! 
Bandung kian renta. 
Tak berdaya dan semakin tua. 
Di telan gelap semua menjadi kabur, tapi tak hilang. 
Dia masih tetap menawan. 
Dia masih tetap Bandung!

suatu prolog untuk Bandung Yang Kian Renta

Rabu, 23 Maret 2011

Something Called "Home"

Bangunan itu tidak megah seperti deretan hunian di pinggir kota dengan bandrol selangit dan arsitektur menawan dan indah. Dia juga tak bisa membanggakan tunggangan si empunya karena tak ada halaman peristirahatan untuknya.  Tersamar begitu rapi dari balik sebuah taman peristirahatan para pahlawan negeri. 

Tak ada yang sangat spesial memang ketika aku melihatnya secara sekilas dan kasat mata. Penglihatanku hanya menangkap sebuah bangunan yang berukuran kecil dengan pagar besi setinggi pundak. Teras depannya begitu mungil dan terdiri dari beberapa ubin saja. Tak ada hal mewah di sana, semua serba sederhana dan apa adanya. Tak ada yang berlebih ataupun dilebih-lebihkan.


Seketika pintu terbuka baru dapat kulihat keistimewaan, kemegahan dan kehangatan yang ada. Terlindung begitu rapat sehingga mereka pernah memasuki baru bisa merasakannya. Takjub yang dirasa ketika pandanganku dipenuhi beberapa tumpukan buku. Deretan judulnya beragam, dari buku agama hingga ilmu pasti, dari buku motivasi hingga tumpukan fiksi. Semuanya berbaur tanpa perbedaan dan sekat yang tersemat berdasar kategori.

Satu sofa usang tergolek lemah begitu saja namun masih siap untuk menahan beban siapa saja. Masih ada perasaan hangat di dalamnya, hingga tetap bisa memberi nyaman bagi mereka yang hendak bersandar. Televisi tua terbujur kaku manatap ke arahku. Kelu hanya membisu. Tak satu pun warna yang mampu dipancarkan. Di arah kiriku berbaris tiga meja belajar yang menjadi  kawan setia si pemilik. Mungkin juga milik adik-adiknya. Masih tetap berhias tumpukan buku di atasnya.

Bagi si pemilik, bangunan ini tak hanya sekedar rumah biasa. Rumah ini ibarat diary tak bernoda, dia tak banyak bertuliskan jalan cerita namun menjadi saksi nyata perjalanan pemiliknya. Rumah ini juga sebuah penjaga mimpi serta pelepas penat perjuangan menggapainya. Berpuluh tahun sudah berbagai cerita disaksikan si rumah ketika pemiliknya mengadu. Teramat sangat berat untuk ditinggalkan karena menyimpan banyak kenangan. Namun semua harus berjalan, rumah ini harus bisa menerima kepergian pemillik setianya pun sebaliknya.
This is what she called "HOME"
Selamat tinggal, rumah! Meskipun kita baru ketemu dan bercengkrama dalam 14 jam, namun aku begitu nyaman. Rasanya aku bakal merindukanmu, juga lantun adzan di sampingmu. ^^

NB : Ini merupakan satu cerita tentang rumah yang pernah di tempati seseorang. Untuk sang pemilik, nikmatilah waktu-waktu terakhir kalinya ini. ^^

Jumat, 18 Maret 2011

Di Balik Hujan

Melancholy 
Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam.
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini. 
Menanti seperti pelangi setia menunggu hujan reda.



Aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember




[efek rumah kaca - desember]



Alunan lirik milik salah satu band indie itu kian sering mengalun menghiasi tiap dinding kamarku beberapa hari terakhir ini. Tiap nadanya kini semakin jelas terngiang dalam ingatanku dengan berbagai kenangan yang terjadi di beberapa hari terakhir. Mataku perlahan terpejam mengikuti irama lagu yang dipantulkan oleh dinding-dinding kamar. Imajinasiku memainkan cuplikan not balok yang melayang pelan di sekitarku. Begitu anggun hingga aku memasuki dunia yang bukan milikku. Sebuah dunia yang tak di belenggu oleh dinding pembatas, begitu luas hingga aku bisa melihat tak ada ujungnya.

Suaranya semakin pelan dan bergantikan score yang menjadi soundtrack satu film animasi impor dari negeri Paman Sam. Forbidden Friendship karya John Powell ini membuat pikiranku perlahan terjaga dari dunia imajinasiku, dunia yang bukan milikku. Perlahan aku merasakan tubuh menghilang dari dunia itu seperti melalui sebuah gerbang antar dimensi yang kini membawaku kembali pada kursiku. Penglihatanku kini tertuju pada kalender kaku dari kayu.

Seminggu sudah aku mengurung diri di kamar hanya berkawankan satu laptop, kamera, jurnal perjalanan dan tentunya segelas teh hangat. Aku menatap ke luar jendela menembus kerangkeng transparan yang bermandikan bulir-bulir air hujan. Tampak jalanan sudah kian sepi oleh kendaraan yang lalu lalang menghindari serbuan air demi memperpanjang nafas untuk hari esok. Kini yang kulihat hanya derasnya air yang turun dari langit menyirami setiap sudut penglihatanku.

Kusandarkan kembali badanku di kursi malas yang setia menemani dalam tujuh hari terakhir ini. Tangan kananku masih memainkan mouse ke sembarang arah, sedangkan lengan kiriku jatuh lunglai tak bertenaga hingga mampu kurasakan semakin kaku di ujungnya. Mataku masih tak lepas dari layar monitor redup bergambarkan satu cangkir teh tak jauh dari kaca jendela.

Batinku berbisik, adakah dia juga sedang memperhatikan hujan yang sama? Hujan yang pernah menjadi jembatan kata bagi kami berdua. Hujan yang pernah kuberitahukan padanya bahwa tentang kenyamanan ketika berada di bawahnya. Hujan yang selalu aku banggakan padanya.

Hujan yang sedang kutatap ini memang sama seperti hujan lainnya. Hujan yang berkomposisikan bulir air tak dapat ditahan oleh pembawanya. Tapi bagiku, hujan ini bukan hanya sekedar buliran air seperti kebanyakan. Lewatnyalah aku sering bercerita, marah, kesal, senang, kecewa ataupun takut. Jika hujan tiba, aku selalu memandanginya dengan penuh harap supaya bisa mendapat kenyamanan darinya seperti saat-saat sebelumnya.

Hari ini aku masih memandangi luar jendelaku, merasakan setiap denyut pembuluh ini begitu tak kuat untuk mencurahkan segala hal yang selama seminggu ini dirasakan begitu berat. Pikiran dan segala perasaan dengan prasangka yang mulai tak karuan ini ingin sekali aku keluarkan. Begitu kuatnya hingga kakiku mulai menapak kuat pada lantai kamar memberi sinyal pada otot kaki dan tulangnya untuk berdiri menopang berat tubuhku. Punggung yang tadinya nyaman, kini tak ingin lagi bersandar pada kursi malas. Dengan tolakan yang lumayan dari lenganku, kini pantat dan punggungku terangkat mengikuti irama otot dan tulang kaki untuk lurus tegak seirama. Tahta teratas tubuh ini juga tak mau kalah dan memberi komando pada seluruh syaraf untuk berdiri tegak.

Tubuhku memutar berlawanan arah jarum jam dan langsung berjalan pelan menuju pintu untuk keluar dari penjara pikiran ini. Aku menyusuri lorong kecil ke arah kanan kamarku untuk menuju tangga. Kurentangkan tanganku hingga dindingnya dapat kurasakan oleh telapaknya. Kulewati berbagai foto berbingkai yang terpajang kaku di dinding itu hingga kini tepat berada di depan tangga. Kulayangkan pandangan ke setiap anak tangganya diikuti langkah kaki untuk menaikinya, satu demi satu. Semakin atas kurasakan udara semakin dingin dan dapat kulihat rembesan air di pintu terakhir yang kutuju. Tepalak kakiku mulai mengenali air yang menggenang dan dingin yang dibawanya. Tanganku meraih pegangan pintu dan memutarnya perlahan sehingga aku bisa membebaskan pikiranku sedikit demi sedikit.

Celah di depanku kini semakin melebar mempertemukanku kembali dengan dingin dan hujan yang aku kenal. Aku melangkah melewati batas manusia normal memilih untuk menjadi sosok bertemankan hujan. Setelah merasakan dingin yang biasanya, kini aku berani melaju lebih jauh ke tengah lantai paling atas di rumahku. Tubuhku kini kuyup di bawah riuh dan ramainya air hujan, bajuku mulai layu menahan berat air yang begitu banyak.

Kuangkat kedua lenganku setinggi bahu dan kurentangkan, kepalaku mulai tengadah menantang datangnya bulir air. Mata mulai terpejam dan aku serasa berada di dunia yang berbeda lagi, dunia yang sudah jelas bukan milikku. Kini aku menenangkan diri di bawah tarian hujan, mengistirahatkan penglihatan, menormalkan pernafasan, merasakan seluruh udara membawa serta pikiran dan aura negatif selagi jantungku memompa darah dan mengalirkan energi positif ke dalam pikiranku.

Tubuh ini mulai kembali tenang, segala pikiran yang membuat setiap oragan dan syaraf menjadi gelisah kini telah lenyap dibawa sang hujan. Mataku perlahan terang-terangan terbuka dan melawan sang air. Lenganku tak lagi terbuka seperti sebelumnya, kini ia tengadah di depan dada seperti posisi orang berdo’a.

I across the universe

Kamis, 17 Maret 2011

Sebuah Kisah (#4)

Aku memutar badan dan pandanganku secara perlahan searah jarum jam sambil mengamati setiap lekukan ruangan ini. Dindingnya memang masih sangat baru, tapi di baliknya ada satu sosok bisu yang menjadi saksi ceritaku dengan seisi ruangan ini. Ruangan ini makin hangat seketika mentari mulai melawan rimbunnya dedaunan di sisi timur. Kaca-kaca itu pernah jadi sosok penjaga emosiku untuk tidak meninggalkan ruangan sebelum waktunya tiba. Kaca-kaca itu pula yang menjadi kanvas untuk telapak tanganku di setiap paginya.
Pandanganku sampai di sudut ruangan dengan singgasana yang anggun dan agung untuk seseorang yang menjadi panutanku. Singgasana itu lengkap dengan bunga plastik dan beberapa alat tulis seadanya. Sebelah singgasana itu, sebidang papan tulis putih penuh coreng-moreng ucapan Darwin telah memberiku banyak hal. Satu sosok hangat yang setia menaburkan benih bekal masa mendatang tanpa takut coreng-moreng.
Akhirnya pandanganku tertuju pada singgasana yang menjadi kebanggaanku. Namun tak kusangka duduk di sana seseorang yang sangat aku kenal dan entah sudah berapa lama dia ada di situ. Pandangannya yang lembut membuatku sedikit malu untuk mengakui kelemahanku di depan lemari usang tadi. Bibirnya mengembangkan senyum yang setiap hari kutemui. Senyum tulus yang membuatku harus mengakui kelemahanku tadi di depannya. Tangan kananku yang kaku memegang buku biru itu kini terkulai tak ada daya.
Dia berdiri secara perlahan diikuti deritan singgasana yang biasa kupakai. Lengannya merapikan jilbab langit yang dia kenakan pagi itu. Tatapannya mulai menantang mataku dengan hiasan lesung pipit di pipi. Tanpa pikir panjang dia pun berjalan ke arahku dengan perasaan tanpa ragu. High heelsnya kini mengeluarkan irama yang membunuh keheningan pagi. Tak butuh waktu lama, kini dia berada sekitar 30cm di hadapanku masih dengan senyumnya yang tulus. Lengannya menggamit lenganku dan berada di sampingku. Perlahan kakinya melangkah yang serta merta diikuti langkahku. Sejenak dia menatap wajahku dan tersenyum, sambil melangkah bibirnya mengucapkan beberapa kalimat yang tak asing juga untuk telingaku.
Mentari memang tak begitu terik menyapa
Pun dengan kehangatan tak muncul ketika dicari
Langkah kaki yang kau kirim
kini membawaku melintasi
berjuta mimpi
Dalam setiap detiknya ada
kehangatan terbalut sejuknya embun
untuk itu kan kuucapkan
“Terima Kasih!”

#END OF 1st CHAPTER#


Alhamdulillah akhirnya chapter pertama dari satu kisah perjalanan ceritaa ini telah selesai. Aku ucapkan terima kasih untuk teman-teman yang mengikutinya dari bagian satu. Insyaallah cerita ini masih akan berlanjut menuju chapter kedua yang masih berada di dapur editing. Aku harap teman-teman akan tetap setia untuk mengikutinya.

jika ada masukan atau saran membangun, silakan sampaikan di kolom komentar. 
salam karya! 

Senin, 14 Maret 2011

Sebuah Kisah (#3)


Semuanya masih tetap dingin dan tak ada kehangatan terpancar dari apa pun yang aku pandangi. Jarum jam menunjuk angka  enam dan angka dua belas. Sudah cukup pagi menurutku untuk memulai kegiatan. Tapi ruangan ini masih tetap hening tanpa hiruk pikuk seperti biasanya.


Arah jam sebelasku berdiri kulihat lemari usang penuh dengan buku yang entah milik siapa saja. Aku ingat, lemari itulah yang selama ini memberikan berbagai bekal untukku hingga sampai pada hari ini. Tanpa pikir panjang, aku berjalan ke arah lemari usang tersebut berharap apa yang sempat aku titipkan masih tetap di tempatnya. Ada binar cahaya mentari yang masuk melalui celah dedaunan seolah hendak memberi pertolongan dalam pencarian. Samar-samar kulihat satu buku berwarna biru yang sangat aku  kenal. Semakin jelas kulihat bahwa buku itu masih tetap di tempat yang sama seperti terakhir aku melihatnya.


“Tak se-ke-dar ta-ri-an je-ma-ri,” begitu mulutku menggumam ejaan yang tertulis di sampul depannya.


Tangan kananku berusaha menggeser kaca penutup itu dengan agak susah payah. Tanpa sadar tangan kiriku mulai membatu sekuat tenaga yang kupunya pagi itu. Tak butuh waktu lama untuk membukanya hingga akhirnya kuraih buku bersampul biru nan usang itu. Di sudut kanan bawah sampul depannya terukir huruf “S” dan “A”yang tercermin menjadi huruf “A” dan “Z” yang menyerupai dua huruf sebelumnya.


“Lama tak bersua kawanku,” bisikku lirih saat membuka sampulnya.


Kutemukan beberapa baris kalimat yang direkam jelas ingatanku dan masih sering sering kupakai sewaktu-waktu, di halaman yang kini mengahadap wajahku. Kalimat yang selalu menjadi pengantar pagi di setiap mataku memandang sekitar. Kalimat yang memberikan sejumput semangat untuk melalui setiap harinya. Kalimat yang membasuh lelah jiwaku di pagi hari. Kalimat yang masih berbunyi sama sampai saat ini aku menggunakannya. Perlahan namun pasti bibirku mulai menggumamkan kalimat-kalimat tersebut.
Sapa embun pagi yang datang
bawakan mimpi
Kembarakan harimu dengan langkah-langkah kaki
yang iringi sejuta hari
Untuk itu kan kuucapkan
“Selamat pagi!”
Pandanganku sedikit kabur, ada yang gumpalan transparan di kantung mataku yang tak terbendung dan akhirnya meluncur perlahan. Kuseka pipiku perlahan sambil sedikit terisak, dari sini semuanya berawal dan entah akan sampai kapan cerita ini berlanjut.
Tanpa terasa jarum jam menunjuk angka enam dan tiga, sedikit demi sedikit suasana hangat yang dinanti kian merebak. Lemari usang di hadapanku kian memancarkan setiap sudutnya dengan jelas. Coretan kreatif anak-anak muda mulai yang menghiasi setiap sisinya, makin menegaskan bahwa ini memang sebuah lemari usang. Tak banyak bercerita aku dengan lemari ini, namun titipan yang sudah sejak sekian lama aku simpan menyiratkan banyak cerita bersamanya.
“Terima kasih sudah menjaga kepingan ceritaku di ruangan ini,” bisikku pada satu sudut lemari itu.

Sabtu, 12 Maret 2011

Keep Smile...! (Tetap Tersenyum)

Mr. Smile
Lihat sepatu yang ada di foto?
     Itu adalah satu dari sekian banyak barang yang sangat berarti bagiku. Tanpa dia, apalah jadina diri ini? Jangankan berlari, mungkin berjalan saja aku tak sanggup. Bukan ingin hiperbola tapi memang diri ini memiliki batasan. Bayangkan jika aku harus bertelangjang kaki kemana-mana, entah bakal jadi seperti apa telapak kaki ini jadinya.
     Dia kutemukan sekitar 5 tahun yang lalu tepatnya di tahun 2006. Mejeng dengan harga yang aduhai menggoda karena pada saat itu memang sedang "BIG SALE". Tanpa pikir panjang langsung kudekati dia hendak memandang dari dekat siapa tau memang kami cocok untuk bersama. ^^
    Saat itu dia begitu cantik, masih putih dan sangat mulus. Tapi lihatlah sekarang, dia sudah renta untuk umur sepatu yang notabene selalu dipakai kemana pun kecuali di rumah. Tampilannya yang kian kusam dan buluk itu memang sudah menjadi pandangan biasa bagiku, bagian bawahnya pun kini sudah ampir jebol. Jika kami harus menerjang hujan, tak jarang dia meminum banyak genangan air di jalan.
     Tapi selama jalan bareng dengannya, tak pernah sekali pun kulihat dirinya bersedih. Selama kami jalan, dia selalu tersenyum ketika menahan berat tubuhku, meminum genangan air atau dihinggapi debu jalanan. Bahkan ketika sekarang sudah hampir jebol, dia masih tetap tersenyum! 
Dia memang hanya sepatu usang yang renta, tapi emote yang tersemat padanya selalu mengingatkanku bahwa masalah bisa kita hadapi dengan senyuman.
   Saatnya kita memulai untuk menghadapi setiap permasalahan dengan tenang dan tetap tersenyum. Sesungguhnya Tuhan tau apa yang terbaik bagi kita. 
Karena rencana Tuhan selalu indah dan rencana kita hanya bagian kecil dari rencana-Nya.
     Ada satu quote yang selalu aku pegang sampai saat ini :
AKU BAGIAN DARI RENCANA-MU 

Rabu, 09 Maret 2011

Sebuah Kisah (#2)

Kutengadahkan wajahku pelan ke arah garuda yang dengan setia tetap menjaga ruangan ini, menemani sepasang singgasana dan sosok hangatku. Dia kaku namun tidak membatu, sayapnya yang dibentang lebar memberi isyarat bahwa dia selalu siap sedia dan begitu tangguh. Perisai yang melindungi jantungnya menandakan bahwa dia berani menahan serangan apa pun untuk melindungi bagian terpenting. Kaki kuatnya mencengkram falsafah yang menjadikannya paling bijak seantero ruangan ini. Setiap harinya dia mengingatkanku untuk selalu menjunjung rasa hormat pada seisi ruangan ini.

Seraya membalikkan badan memunggunginya hatiku bergumam, “bhineka tunggal ika-mu menyadarkanku bahwa aku hanya bagian kecil dari seantero negeri ini, Bung.”


Kulihat jarum jam menunjukan pukul enam kurang seperempat dan pagi masih enggan berikan hangatnya. Rimbun dedaunan di sisi timur masih ingin memberikan kesempatan pada angin dingin kota ini menyapa setiap yang dijumpainya. Kristal air di sudut atas kaca ruanganku berada masih tak mau pergi meski cahaya mentari perlahan mengusir dengan lembut. Tepat di sudut atas kaca arah pukul sembilanku berdiri, tersirat satu jejak manusia berbentuk telapak tangan kanan yang mungil untuk ukuran seumurku. Jejak yangmembuat rasa penasaranku bangun dan ingin mencari tahu siapa gerangan pemiliknya. Sebuah gambaran telapak tangan dengan jari-jemari yang panjang namun tetap mungil.


Tak jauh dari  kaca tempat jejak itu terpatri, ada sepasang singgasana besar nan anggun milik seorang bijak di ruangan ini setiap jamnya. Seseorang yang cukup bijak untuk menceritakan kemegahan dunia dan belahan negeri lain beserta isinya. Seseorang yang cukup tangguh untuk menceritakan kisah heroik di setiap sudut kota tempat perjuangan. Seseorang yang cukup wibawa untuk menceritakan betapa indahnya pegangan hati setiap orang di bumi ini. Seseorang yang selalu kuhormati ketika dia membeberkan setiap kata dalam balutan pengetahuan. Singgasana inilah yang akhirnya memberikanku banyak bekal untuk berkelana menyambut kerasnya bola dunia.


Maka pada singgasana inilah aku berucap, “tanpa kenyamanan yang kau berikan, sudah pasti seseorang itu selalu gusar melihat waktu di tiap detiknya.”
     
      Jarum jam hanya bergeser satu angka saja dari tempat sebelumnya kulihat. Kembali aku menatap menembus kaca ruangan tempatku berdiri. Semuanya masih tetap sama, jalanan masih lengang hanya sesekali kulihat seorang pria paruh baya mencoba mengayuh pedal dengan sisa tenaganya. Tak ada kehangatan dari sekitarnya, mentari masih enggan menyeruak dari balik dedaunan rimbun itu. Mataku mengikuti kemana arah pria paruh baya itu mengayuh hingga menemukan sosok wanita yang menggendong bayi kecil dalam dekapannya. Tangan kanannya memegang tas besar seolah memuat semua perlengkapan untuk dia dan bayinya. Tak sedikit pun kehangatan terpancar dari mentari pagi untuk bayi kecil itu, semuanya masih tetap dingin. Kualihkan pandanganku pada deretan pagar tembok setinggi pinggang orang dewasa yang mulai kusam dimakan usia dan kreatifitas anak muda.

The Footprints of Life

langkah mengukir dunia

Alhamdulillah setelah sekian lama bergelut dengan pertimbangan baik dan buruk tentang blog, maka akhirnya saya telah menyelesaikan berbagai bahan serta mematang kan isi blog yang sedang rekan-rekan kunjungi sekarang. Blog ini memang sudah lama ingin saya realisasikan, mungkin sekitar 1 tahun yang lalu ketika saya mulai terjun ke dunia fotografi kembali. Saat itu saya berpikir akan lebih baik jika hasil jepretan amatir saya di share kepada rekan-rekan semuanya. Ada beberapa hasil jepretan yang saya rasa memang memiliki cerita, baik yang saya tangkap momennya secara tak sengaja ataupun memang karena saya menciptakan momen tersebut.

Tidak hanya pertimbangan fotografi yang membuat saya akhirnya merealisasikan blog ini, tapi juga karena adanya berbagai cerita dan kisah lama tentang keseharian saya dengan lingkungan sekitar. Kisah-kisah tersebut sedikit banyak membuat saya termotivasi untuk tetap bertahan di tengah kerasnya lingkungan yang ada. Itu semua memang hanya kisah lama yang tak lebih dari kenangan belaka, namun kesemuanya itu mampu memberikan nilai tambah bagi saya pribadi.

Maka dari itulah saya mengambil “The Footprints of Life” sebagai nama blog ini, karena semua elemen yang ada di dalamnya adalah sebuah komponen dari kehidupan yang sejati. Mungkin rekan-rekan ingat dengan slogan ini, “Tidak mengambil kecuali foto. Tidak membunuh kecuali waktu. Tidak meninggalkan kecuali jejak.” Isi blog ini akan berkisar seputar foto-foto yang saya ambil, cerita saya dengan komponen lingkungan, motivasi dari kawan dan berbagai buku serta berbagai kutipan artikel yang menggugah. Jejak kaki yang saya dan rekan-rekan tinggalkan dalam setiap harinya adalah sebuah harta karun yang tak ternilai harganya, sebuah penginggalan bersejarah yang bisa menjadi sebuah dongeng bagi generasi penerus nantinya bahkan bisa jadi sebuah legenda bagi dunia. Semoga rekan-rekan mau mengingat setiap kenangan dan jejak langkahnya baik ataupun buruk dan mengambil hikmah dari setiap ukirannya.

Selamat mengukir jejak dan menyimpan harta karun!

foto saya ambil sendiri di Pangumbahan, Sukabumi.

Selasa, 08 Maret 2011

Sebuah Kisah


Cahaya mentari mencoba menembus rimbunnya dedaunan yang melindungi ruangan ku berada di sisi timur. Masih sepi, bangku-bangku masih kosong, gerbang masih tak terjaga, ruang guru hanya beriramakan jarum jam yang menarik waktu, halaman upacara lengang orang namun berhiaskan ranting pohon. Kelas ini masih sunyi hanya ada aku dan papan tulis yang saling berpandangan seolah berdialog tentang pagi ini. Pagi yang dingin dan nyaris menusuk sampai ke sumsum paling dalam jika sang mentari tak berusaha melawan. Ini memang masih pagi, bahkan terlalu pagi untuk memulai pelajaran sekolah seperti biasa. Entah apa yang kupikirkan hingga aku niat untuk menyeruak dari keheningan hari ini. Tak ada hal yang begitu penting hingga mengharuskan aku untuk segera duduk di bangku seperti biasanya.

Tertunduk sejenak menatap meja yang sering menjadikan dirinya sandaran untukku menulis selama beberapa bulan. Aku yang tak pernah beranjak dari sepasang singgasanaku ini seolah sudah memiliki suatu ikatan kuat terhadapnya.

Termenung untuk beberapa saat hingga akhirnya mulutku bergumam, “terima kasih untuk beberapa waktu terakhir itu.”


Seraya mengangkat wajah dan kembali menatap papan tulis yang coreng-moreng oleh sisa ucapan Darwin kemarin sore, kembali aku termenung dan menatap lekat dengan tatapan bersahabat hendak mengajak berbicara. Ada perasaan aneh saat kupandangi papan tulis itu lekat-lekat. Sebuah perasaan hangat yang menyerupai sosok keibuan yang entah dari mana datangnya. Perlahan namun pasti, aku bangkit dari singgasanaku dan berjalan perlahan menggapai sosok hangat tersebut. Semakin dekat aku padanya semakin jelas pula dari mana dia berasal.


Cahaya keemasan yang sedikit demi sedikit menampakkan diri itu kini membuatku sadar dari mana sosok hangat itu muncul. Sosok itu tetap sebidang papan tulis putih yang telah coreng-moreng. Namun goresan yang membekas di setiap bagiannya menjelaskan kenapa dia bisa menjadi sosok hangat itu. Kuarahkan telapak tanganku tepat pada satu area yang masih putih tanpa torehan noda. Kurasakan hangatnya hingga aku perlahan memejamkan kedua mataku seolah mencoba memahami apa yang ingin diucapkannya.


Perlahan kubuka kembali kedua indera penglihatanku diikuti sebuah senyum yang terukir dengan satu kalimat terucap pelan, “terima kasih untuk semua wejangan sejarah dari belahan dunia yang  tak terjangkau kaki serta tanganku.”

# bersambung

Senin, 07 Maret 2011

Drawing Dream



Mimpi.

Setiap orang memilikinya.  Setiap orang mencoba merangkainya. Dan setiap orang juga memiliki kendala dalam mewujudkannya. Namun bagi mereka yang memiliki keteguhan dan keyakinan pada Tuhannnya pasti memiliki tenaga ekstra untuk mewujudkannya. Mereka yang percaya bahwa Tuhan memeluk mimpinya pasti memiliki pandangan luas dan perspektif berbeda terhadap apa yang menghadangnya.

Mimpi yang kita miliki hendaknya sampaikan kepada Tuhan, biar Dia memeluk mimpi kita. Suatu hari aku melihat seorang anak di suatu panti asuhan yang hendak tidur. Dari celah kecil yang terbuka di pintu kamarnya aku melihat dan mendengarnya mengucapkan beberapa patah kata.

"Tuhan yang telah memberiku tempat berteduh saat ini, aku selalu mengirimkan untaian mimpi, harapan dan cita-citaku pada-Mu. Peluklah mimpiku seperti Engkau memeluk orang tuaku di surga-Mu. Jika mimpiku berlebihan, cukupkan saja hanya buatku, Tuhan."
Aku sempat membuka kembali beberapa buku gambar yang ada di lemari buku. Dari sekian banyak gambar yang kumiliki, gambar rumah dengan mentari terang serta halaman yang hijau inilah yang aku suka. Sempat aku bertanya dalam hati kenapa harus gambar itu yang membuatku sampai merinding dan mataku berkaca-kaca.

Sampai saat ini aku masih menyenangi gambar itu, sebuah impian masa kecil yang begitu indah. Satu impian yang bisa membuatku berlari kecil mengumpulkan setiap yang terserak untuk menggenapinya. Aku yakin, setiap orang memiliki mimpi yang sama denganku ini.

Mimpi seperti ini bukanlah tidak mungkin terwujud, hanya saja prosesnya akan cukup panjang dan tidak sesuai dengan keinginan. Setiap mimpi, harapan dan cita-cita pasti akan terwujud cash ataupun kredit, sesuai ataupun tidak. Percayalah! Someday!
"You'll never too young or too old to have a dream."
Mari merangkai mimpi dan membuatnya nyata!

Prolog

Kata-kata yang akan kau baca adalah ungkapan mimpi dan perasaan
Yang dahulu pernah menjadi jembatan
Antara harapan dan kenyataan
Hingga
Sampai saat ini waktu terus berulang
Padahal beberapa tak pernah lagi tertuang
Karena semuanya menjadi usang
Lalu menjadi kenangan