Aku memutar badan dan pandanganku secara perlahan searah jarum jam sambil mengamati setiap lekukan ruangan ini. Dindingnya memang masih sangat baru, tapi di baliknya ada satu sosok bisu yang menjadi saksi ceritaku dengan seisi ruangan ini. Ruangan ini makin hangat seketika mentari mulai melawan rimbunnya dedaunan di sisi timur. Kaca-kaca itu pernah jadi sosok penjaga emosiku untuk tidak meninggalkan ruangan sebelum waktunya tiba. Kaca-kaca itu pula yang menjadi kanvas untuk telapak tanganku di setiap paginya.
Pandanganku sampai di sudut ruangan dengan singgasana yang anggun dan agung untuk seseorang yang menjadi panutanku. Singgasana itu lengkap dengan bunga plastik dan beberapa alat tulis seadanya. Sebelah singgasana itu, sebidang papan tulis putih penuh coreng-moreng ucapan Darwin telah memberiku banyak hal. Satu sosok hangat yang setia menaburkan benih bekal masa mendatang tanpa takut coreng-moreng.
Akhirnya pandanganku tertuju pada singgasana yang menjadi kebanggaanku. Namun tak kusangka duduk di sana seseorang yang sangat aku kenal dan entah sudah berapa lama dia ada di situ. Pandangannya yang lembut membuatku sedikit malu untuk mengakui kelemahanku di depan lemari usang tadi. Bibirnya mengembangkan senyum yang setiap hari kutemui. Senyum tulus yang membuatku harus mengakui kelemahanku tadi di depannya. Tangan kananku yang kaku memegang buku biru itu kini terkulai tak ada daya.
Dia berdiri secara perlahan diikuti deritan singgasana yang biasa kupakai. Lengannya merapikan jilbab langit yang dia kenakan pagi itu. Tatapannya mulai menantang mataku dengan hiasan lesung pipit di pipi. Tanpa pikir panjang dia pun berjalan ke arahku dengan perasaan tanpa ragu. High heelsnya kini mengeluarkan irama yang membunuh keheningan pagi. Tak butuh waktu lama, kini dia berada sekitar 30cm di hadapanku masih dengan senyumnya yang tulus. Lengannya menggamit lenganku dan berada di sampingku. Perlahan kakinya melangkah yang serta merta diikuti langkahku. Sejenak dia menatap wajahku dan tersenyum, sambil melangkah bibirnya mengucapkan beberapa kalimat yang tak asing juga untuk telingaku.
Mentari memang tak begitu terik menyapa
Pun dengan kehangatan tak muncul ketika dicari
Langkah kaki yang kau kirim
kini membawaku melintasi
berjuta mimpi
Dalam setiap detiknya ada
kehangatan terbalut sejuknya embun
untuk itu kan kuucapkan
“Terima Kasih!”
#END OF 1st CHAPTER#
Alhamdulillah akhirnya chapter pertama dari satu kisah perjalanan ceritaa ini telah selesai. Aku ucapkan terima kasih untuk teman-teman yang mengikutinya dari bagian satu. Insyaallah cerita ini masih akan berlanjut menuju chapter kedua yang masih berada di dapur editing. Aku harap teman-teman akan tetap setia untuk mengikutinya.
jika ada masukan atau saran membangun, silakan sampaikan di kolom komentar.
salam karya!
::: Ruangan ini makin hangat seketika mentari mulai melawan rimbunnya dedaunan di sisi timur :::
BalasHapusini frasa lain dari kalimat minggu lalu tentang mentari yang membantu pencarian kan yah? bagus bget
::: Kaca-kaca itu pernah jadi sosok penjaga emosiku untuk tidak meninggalkan ruangan sebelum waktunya tiba :::
again, playing with personifikasi majas ^^
::: membuatku sedikit malu untuk mengakui kelemahanku di depan lemari usang tadi :::
cara salting yang cukup romantic.. ^^
::: Lengannya merapikan jilbab langit :::
aku ingat, frassa ini pernah kamu jadikan status di FB, dan waktu itu, aku cemburu ada yang bisa mengenakan jilbab langit ^___^
aku bingung mau komen apa rai,,,tapi sepanjang ini kamu berhasil membuat seuah hal yang simple menjadi menakjubkan. Dan aku makin menanti ini dijadikan sebuah novel. Btw, aku mau ada tambahan percakapan, agar lebih menarik sedikit rai hehhehe...
BalasHapus@eva : hihihi,,,, si rai mu itu lagi kebingungan gimana caranya membuat sebuah percakapan nampaknya,,,, hey Va, jatuh cinta pada tulisannya saja kah? hihihi
BalasHapuspenggambaran settingnya keren banget ^^
BalasHapusdetail dan enak dibaca
Akhirnya pandangannmu hanya kepada dia yang sudah menunggu dan memadangmu
BalasHapusbanyak pelajaran menulis yang saya dapatkan dari membaca sebuah kisah 1 - 4 ini. Ditunggu chapter kedua dan tak keberatan untuk menunggu chapter ketiga dan seterusnya. Menarik sekali !
BalasHapusSetuju banget ama Chika Rei dan Abi Sabila....
BalasHapusSemoga si empunya blogger jangan berhenti kasih wejangan karyanya yah ^__^
bagus. cuma ada salah ketik aja. perlahan. bukan peerlahan
BalasHapushmm...hmmm...
BalasHapusSughoi...gaya bahasanya bagus, mengajak semua berbicara...
Jadi novel,waw...pasti keren, ayo teruskan yaa...
Haloo apa kabaar?.. makasi udah mampirr. hehehe.. kunjungan balasan ini.
BalasHapuswah, saya jadi penasaran bentuk singgasananya seperti apa.
ceritanya menariik ^_^
aku gak da komen la !
BalasHapusthanks ya dah komen di blog ak...
BalasHapuswah,keren loh...salam kenal..klu ada waktu kunjungi blog ane ya
BalasHapusuhu2 saya baru berkunjung, hem jadi penasaran mah ceritanya.hehe
BalasHapuskerenlah bisa menggambarkan suasana dengan kata-kata, sayang v krg bisa ngerti sastra jd ga bs terlalu bnk komen dr segi bahasa tp so far kerennn :D
BalasHapusgreat !
BalasHapuswow..apa yg bisa gw katakan ?
gw emang bukan seorang komentator tulisan2, tp karena gw senang baca, ya gw suka tulisa lo bro !
kena deh pokoknya..
tapi, just my opinion nih..
ada beberapa yg mgkn terlalu banyak yg di"umpamakan" so terlihat di sini kita bermain penggantian kata dengan kata-kata tersirat..
itu keren..tapi kalau terlalu sering..
maka "kaki-kaki ini akan setia untuk membawamu ke mana saja".
tapi keseluruhan..gw tgg cerita lo selanjutnya bro ! haha.. u know that means.. :D
SUPER !
Denny : thanks banget deh brader. hhe. masukan banget buat ane!!at ane!!
BalasHapushahahaha..sama2 bro..
BalasHapusLANJUTKAN ya ! :D