Jumat, 20 April 2012

Sepasang Sendal Jepit #1

Lelaki itu lusuh terduduk dengan pandangan kosong. Tak objek nyata yang dilihatnya. Mata itu hanya tertuju pada laju sepatu orang lalu lalang. Hari itu juga tak ada yang istimewa. Kabar baik ataupun buruk tak saling sahut-sahutan. Semua tetap sama, datar dan tanpa dinamika. Mungkin dunianya hanya dua warna, saat ini. Hitam dan putih. Tapi bukan itu masalahnya. Dia juga ingin semuanya berwarna, penuh rupa. Tapi apa daya, saat ini dia hanya bisa terpekur menikmati sisa waktu dan jalan hidup yang ada.

Jemarinya saling berpagut, erat ibarat sepasang kekasih tak mau dipisahkan perang. Gemetar dan terlihat agak panik. Sepasang telunjuknya mulai memainkan peran dan menari begitu lincah. Seolah ada irama orkestra yang begitu cepat di sekitarnya. Putarannya seperti bianglala dengan kecepatan melewati batas. Semakin cepat hingga kini terhenti dan malah menjalar ke kedua kakinya. Syaraf di kakinya mulai mengangkat kedua sepatu memainkan nada yang acak.

Tak kuasa dengan gelisah yang semakin menghantui kini dia coba untuk beranikan berhenti. Berhenti untuk menatap laju sepatu, berhenti untuk menari jemari bahkan mencoba untuk berhenti mengehentak dengan nada tanpa arah. Sesaat lalu tubuhnya gemetar dan seakan goyah. Kini semuanya tegap dan kokoh seolah dituangkan carian pengeras beton.

Gue harus bisa ngomong ini sama dia. Batinnya mulai bersuara. Suara yang seharusnya dari dulu dia utarakan. Suara yang seharusnya tidak membawanya ke arah yang tidak pasti seperti ini.

"Lo kenapa brur? Ada masalah?" satu suara yang tak asing membuatnya menoleh.

"Gue mesti balik! Kunci kosan dimana? Mau packing nih. Keburu kemaleman entar."

"Lo tuh kenapa sih? Daritadi pagi lo suntuk banget dan sekarang lo tiba-tiba beringas," timpal Aden dengan tergesa-gesa memberikan kunci.

"Gue mau pulang ke rumah malem ini juga. Tak ada tapi dan tak ada yang ditunda lagi. Masalah gue ini cukup pelik dan krusial, Den. Lo yang paling tau seberapa krusialnya masalah gue saat ini. Ini tentang masa depan gue. Semua tentang kuliah gue, Den."

Lelaki di depannya itu kini hanya menatap sahabatnya dengan penuh keheranan. Ada rasa kaget dan sedih ketika mendengar ini semua tentang apa yang menjadi prinsipnya. Aden memang sangat mengenal dekat sahabatnya itu. Sejak awal masuk SMP mereka memang langsung bisa klop dan tak ada tapi. Ini adalah permulaan tahun ketujuh dengan kondisi jauh dari rumah. Baginya, tak ada yang lebih bisa mengisi kesehariannya selain sahabatnya itu. Kini Aden terkejut dengan fakta bahwa sahabatnya terancam tak bisa kuliah.

"Lo ngapain mesti pulang sekarang, Mal? Ini udah hampir gelap. Rumahmu dari sini tuh 3 jam, sesampainya di sana juga gak bakal ada yang nyambut lo! Semua orang udah tidur dan lo bakal ganggu istirahat mereka! Ngerti ngga?!"

Lelaki lusuh itu kini sedikit melambat pergerakannya. Layaknya gerigi mesin yang sudah berkarat. Tak mau bergerak dan terhenti begitu saja. Bahunya sedikit membungkuk. Kepalanya mulai agak condong ke depan. Lengan kiri yang tadinya membetulkan jaket kini terkulai lemah. Kepalan tangan dengan rentetan kunci itu perlahan masuk ke saku celana. Dia terdiam. Bisu. Sunyi.

Aden merasa bersalah atas sikapnya barusan. Kalimat yang dilontarkan tadi lebih kasar dari biasanya. Sahabatnya itu memang bagian paling penting buat Aden selain keluarganya. Aden memang terkenal kurang pandai untuk bergaul dan memulai suatu percakapan. Bahkan untuk kelompok siswa jenius, Aden tidak begitu disukai orang. Cuma lelaki lusuh itulah yang mau untuk lebih dekat dan mengenalnya, hingga sekarang. Selama perjalanan mereka, Aden baru kali ini meninggikan nada suara untuk sahabatnya.

. . . BERSAMBUNG